MAKALAH MEDIA MASSA DAN DEMOKRASI (HUBUNGAN,KEKUATAN.PERSUASIF DAN MONOPOLI MEDIA) - pemuda bebas berkarya

Breaking

post

recent/hot-posts

Tuesday, October 22, 2019

MAKALAH MEDIA MASSA DAN DEMOKRASI (HUBUNGAN,KEKUATAN.PERSUASIF DAN MONOPOLI MEDIA)

MEDIA MASSA DAN DEMOKRASI (Membahas Kekuasaan/Kekuatan Media Dan Pengaruh Persuasif Media Terhadap Masyarakat)

Pengertian Media Massa dan Demokrasi
A.    Media Massa

Secara bahasa, media massa menurut kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) adalah “sarana dan saluran resmi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada masyarakat luas”. Kata Media adalah mencakup alat atau salurang yang digunakan  sedangkan massa berartian cakupan luas yang bisa dijangkau media itu. Sebagai alat komunikasi media massa memiliki  perbedaan dari segi saluran yang digunakan dan bagaimana pesan itu disampaikan. Perbedaan ini digolongkan beberapa jenis media yaitu, Media cetak, media elekronik dan media online (dalam jaringan). Semua jenis media itu memiliki karakteristik masing masing yang pada tujuan nya adalah menyapaikan pesan kepada khalayak.
Isi media massa umumnya terbagi tiga bagian atau tiga jenis tulisan yang merupakan produk jurnalistik atau jenis-jenis tulisan jurnalistik, yakni:
1. Berita (News)
Berita adalah tulisan, gambar, audio, atau video berisi informasi atau laporan peristiwa terbaru.
2. Opini (Views)
Opini –disebut juga artikel opini– adalah tulisan berisi pendapat, analisis, ulasan, atau pemikiran tentang masalah atau isu aktual.
3. Karangan Khas (Features)
Feature adalah tulisan berisi gabungan fakta dan opini yang ditulis dengan gaya bahasa sastra layaknya cerpen atau novel. Foto dan video bernilai human interest termasuk kategori feature.
Menurut UU No. 40/1999 tentang Pers, media adalah sarana menyampaikan informasi yang dilakukan oleh pers. Pers adalah lembaga sosial atau wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi, mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak atau media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia. (Pasal 1).

B.     Demokrasi
Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan dimana semua warga negaranya mempunyai hak dan kesempatan yang sama/ setara untuk berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.Dari penjelasan arti demokrasi tersebut dapat disimpulkan bahwa rakyat memiliki kekuasaan tertinggi dalam hal pembuatan keputusan yang berdampak bagi kehidupan rakyat secara keseluruhan.
Sistem pemerintahan demokrasi memberikan kesempatan penuh kepada warganya untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses perumusan, pengembangan, dan penetapan undang-undang, baik itu melalui perwakilan ataupun secara langsung. Secara etimologis, kata Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “Demos” dan “Kratos”. Demos artinya rakyat/ khalayak, dan Kratos artiya pemerintahaan. Sehingga pengertian demokrasi adalah pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, untuk rakyat, dan oleh rakyat
Menurut Charles Costello, arti demokrasi adalah sistem sosial serta politik pemerintahan diri dengan kekuasaan-kekuasaan pemerintah yang dibatasi oleh hukum serta kebiasaan dalam melindungi hak-hak individu warga Negara. Demokrasi juga berkaitan dengan Trias politika dalam suatu sistem pemerintahan atau Negara. Politik merupakan bagian yang erat dari demokrasi yang di terapkan di suatu Negara baik itu di legislative maupun eksekutif. Tak jarang juga politik mampu menyentuh bagian yudikatif.
Suatu negara dapat dikatakan menggunakan sistem pemerintahan demokrasi jika dalam proses pemerintahannya sesuai dengan karakteristik negara demokrasi. Sesuai dengan pengertian demokrasi, adapun ciri-ciri demokrasi adalah sebagai berikut:

1. Keputusan Pemerintah untuk Seluruh Rakyat
Segala keputusan yang akan diambil adalah berdasarkan aspirasi dan kepentingan seluruh warga negara, bukan atas dasar kepentingan suatu kelompok. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme di dalam masyarakat.

2. Menjalankan Konstitusi
Segalah hal yang berkaitan dengan kehendak, kepentingan, dan kekuasaan rakyat, harus dilakukan berdasarkan konstitusi. Hal tersebut tertuang di dalam penetapan Undang-Undang, dimana hukum harus berlaku secara adil bagi seluruh warga negara.

3. Adanya Perwakilan Rakya
Dalam sistem demokrasi terdapat lembaga perwakilan rakyat yang berfungsi untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada pemerintah. Di Indonesia, lembaga ini dinamakan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih melalui pemilihan umum dan kekuasaan dan kedaulatan rakyat diwakili oleh anggota dewan terpilih.

4. Adanya Sistem Kepartaian
Partai merupakan salah satu sarana dalam pelaksanaan sistem demokrasi. Melalui suatu partai, rakyat dapat menyampaikan aspirasinya kepada pemerintah yang sah.

HUBUNGAN MEDIA MASA DAN DEMOKRASI
 Media secara tradisional dianggap mendukung demokrasi dalam dua cara penting. Dengan mendorong debat publik dan keterlibatan politik dan dengan bertindak sebagai pengawas publik untuk mengawasi penyalahgunaan kekuasaan (dampak yang spesifik dari media baru pada demokrasi dan politik secara lebih umum).  Didalam media terdapat pers didalamnya yang memilik fungsi dan tujuan nya.  Menurut UU No. 40/1999 tentang Pers, media adalah sarana menyampaikan informasi yang dilakukan oleh pers. Oleh Karen itu pers memiliki peranan sesuai UU No. 40/1999 tentang Pers :
·         Memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
·         Menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi
·         Mendorong terwujudnya supremasi hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM)
·         Menghormati kebhinnekaan;
·         Mengembangkan pendapat umum (public opinion) berdasarkan informasi yang cepat, akurat, dan benar;
·         Melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
·         Memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Media bukan hanya sekedar menyampaikan informasi kepada masyarakat tetapi merupakan bagian dari demokrasi. Media massa berperan aktif dalam menegakan nilai nilai demokrasi dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan politik yang dilakukan.
Media bukan hanya berperan sebagai pihak yang mengawasi dan memonitor pemerintah namun media juga berperan sebagai partisipan yang dapat mempersuasi orang-orang dengan pandangannya dan dapat bergabung dalam sebuah debat publik, sehingga media memiliki hak layaknya publik dalam mengeluarkan argumennya.
Posisi media sebagai sebuah industri tak lepas dari adanya kebutuhan ekonomi untuk menjalankan perputaran roda perusahaan. Media juga memiliki kebutuhan akan ekonomi untuk bertahan hidup. menyadari bahwa persaingan di industri media mulai terasa, media semakin berlomba-lomba untuk mencari dan menarik orang maka muncullah berita-berita yang bersifat sensasional dan dramatisasi. Itulah yang disebut sebagai Hyperadversarialism yakni jurnalisme bersikap lebih kritis terhadap pemerintahan dalam mengajukan pertanyaan yang bersifat provokatif. Sehingga politik dijadikan sebagai sebuah hiburan yang berimplikasi pada tren. Bukan hanya mengungkap subjek dari politik sebagai politisi namun juga mengungkap kehidupan pribadinya. Itulah yang disebut sebagai krisis media, ketika media meningkatkanhyperadversarilism maka akan membentuk sebuah opini publik yang menyatakan kekecewaan diri dan kegagalan politik karena dampak dari hyperadversarilism.
Dalam kehidupan berpolitik, media bukan hanya menyampaikan pesan politik tapi juga aktif berpartisipasi dalam membuat pesan politik (Cook, 1998)[1]. Oleh karena itu, media menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam strategi partai politik. media mampu mempolitisi dan memobilisasi masyarakat sehingga dapat memberikan jalan bagi tujuan partai. Menggunakan strategi media logic yakni strategi yang digunakan untuk mempertahankan hubungannya dengan publik.
Media juga diharapkan dapat menjadi ‘marketplace of ideas’ atau pasar gagasan yaitu sebuah forum untuk kelompok atau individu dalam mengekpresikan pandangannya, bertukar pendapat tanpa adanya intervensi dari negara. Namun gagasan ini cenderung mengaburkan kebenaran, seakan berkompetisi dalam memberikan argumen terbaiknya dan menghilangkan kebenaran yang sesungguhnya.
Indikator dari adanya sebuah demokratisasi yakni adanya pemilihan umum, padahal pemilu dapat berlangsung dibawah rezim yang mempertahankan otoritasnya. Posisi media dalam hal ini dapat memberikan pengaruh besar kepada publik seperti halnya teori jarum suntik, seperti yang dikatakan oleh Hence bahwa kualitas pengambilan keputusan secara demokratis berhubungan erat dengan kualitas informasi yang diberikan oleh media[2]. namun publik pada dasarnya dapat menentukan sikapnya sendiri tanpa adanya dorongan dari media massa. Oleh karena itu, publik harus memiliki kemampuan untuk dapat memilih dan menyeleksi informasi.  
Barrington Moore menyebutkan bahwa kelas kuat dan independen penduduk kota merupakan elemen penting dalam pertumbuhan demokrasi. Tidak ada kaum borjuis maka tidak ada pula demokrasi[3]. Demokrasi terlahir tidak sepenuhnya dari rakyat namun terdapat beberapa dorongan oleh kalangan elit. Sehingga demokrasi tidak pernah lepas dari tekanan elit politik dan intervensi dari pihak-pihak tertentu yang menyebabkan system demokrasi yang di elu-elukan menjadi tidak efektif dan berjalan sebagaimana mestinya.

Media Massa sebagai perjuangan politik kemerdekaan
Pada masa pergerakan kebangsaan, media massa berperan menumbuhkan rasa nasionalisme dan patriotisme. Selama pendudukan Jepang, media massa tetap berusaha dengan berbagai siasat untuk tetap berpihak kepada perjuangan kemerdekaan meski menjadi suara pemerintah pendudukan Jepang. Dan selama perang kemerdekaan, media massa turut berjuang mempertahankan proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, menolak ide federalisme dan pembentukan negara Kalimantan serta mendukung wilayah Kalimantan Selatan menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berbagai upaya ditempuh untuk kepentingan ini. Baik melalui media seperti radio, koran, pamflet, coretan-coretan di dinding dan gerbong-gerbong kerata api (grafiti) maupun melalui lisan dari mulut ke mulut. Hal ini tidak hanya dilakukan oleh tokoh-tokoh BPUPKI atau PPKI tetapi oleh setiap lapisan masyarakat di negeri ini, terutama dari kalangan pemuda.
Penyebarluasan berita proklamasi ini sangat penting dilakukan untuk mendapatkan pengakuan dari rakyat sendiri dan dunia internasional. Ada beberapa peranan penting media massa pada waktu yang memiliki kekuatan tersendiri :
1.      Media sebagai pembentuk opini
Memiliki kekuatan untuk membentuk opini publik atau pendapat mayoritas masyarakat suatu daerah, negara, hingga dunia. Pers memiliki kredibilitas yang membuatnya dipandang terpercaya oleh para audiens, sehingga apa yang disampaikan oleh pers dianggap sebagai suatu kebenaran.
2.      Menyadarkan rakyat Indonesia mengenai situasi dan kondisi Negara.
Karena wilayah Indonesia yang terbentang luas, masih ada rakyat yang belum menyadari bagaimana situasi sebenarnya dari negara pada masa pergerakan nasional itu.
3.      Menguatkan semangat juang rakyat Indonesia
peranan yang sangat besar dalam membangkitkan dan menguatkan semangat juang rakyat Indonesia, baik ketika meraih kemerdekaan hingga mempertahankan kemerdekaan tersebut.

Peran Pers dalam Pembentukan Opini Publik

Fungsi utama pers dalam pembentukan opini ialah menaikkan atau menurunkan pengharapan melalui laporan mereka tentang peristiwa. Opini publik memiliki ciri-ciri tertentu, yaitu isi, arah, dan intensitas, ciri-ciri ini menyangkut opini publik tentang tokoh politik, biasanya pejabat pemerintah dan kandidat pejabat, partai, peristiwa. Opini publik terbentuk dari opini pribadi, dan kemudian menjadi sebuah opini umum dan memiliki waktu bertahan yang cukup lama.

Namun dalam kondisi akhir akhir ini, pers memainkan peran penting dalam pembentukan opini publik. Bisa dilihat dari pemberitaan-pemberitaan yang selalu gencar dan berulang-ulang disiarkan oleh pers, membuat masyarakat mengambil kesimpulan dari apa yang disiarkan tersebut tanpa di fliter. Terlebih lagi sekarang ini, masyarakat sedang mengalami gejolak dalam hal kepercayaan terhadap pemerintah. Hanya pers satu-satunya poros informasi yang mudah diakses oleh seluruh masyarakat, yang menghubungkan masyarakat dengan kondisi pemerintah, kondisi negara saat ini.

Pers sekarang ini seperti mengalami perputaran 180 derajat, dari zaman soeharto yang bungkam dan menulis segala yang baik tentang pemerintah, menjadi bebas berpendapat, dan bebas mengeluarkan, menulis, serta menyiarkan hal-hal yang dianggap perlu disiarkan, pers masih saja berperan penting dalam pembentukan opini publik.

Pers memiliki pedoman dalam bertindak yaitu kode etik pers bahwa pers harusnya bersikap netral, tidak ada tekanan dari pihak manapun, menyiarkan berita secara jujur dan aktual, dan juga menyiarkan berita tanpa menjatuhkan pihak manapun. Pers berasal dari masyarakat, menyiarkan informasi untuk masyarakat, dan bertanggung jawab pada masyarakat.

Walau memang pers dilindungi, tidak dikenakan penyensoran, pemberdelan, maupun pelarangan penyiaran, yang berarti kebebasan pers dilindungi oleh negara, khususnya dilindungi oleh dewan pers, bukan berarti pers bisa seenaknya menyiarkan apapun yang dian pikirkan, apapun yang menjadi gagasan si pencari berita, karena pers masih dibatasi oleh kode etik yang juga menjadi kewenangan dewan pers, tentang bagaimana pers harusnya berperilaku, menyiarkan, serta menulis gagasannya.
apa sajakah efek media massa dalam komunikasi persuasif? Berikut adalah ulasan singkatnya.

1. Pengalaman

Efek media massa dalam komunikasi persuasif yang pertama adalah pengalaman. Salah satu tokoh teori media klasik yaitu Marshall McLuhan menyatakan bahwa medium adalah pesan. Ia menolak konsep pengaruh atau dampak isi pesan terhadap khalayak. Menurut McLuhan, yang memengaruhi khalayak adalah macam-macam media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan dan bukan apa yang disampaikan oleh media. Media massa menurut McLuhan menyuguhkan kepada khalayak sebuah akses ke ruang informasi dan pengalaman bersama. Hal ini memberikan ruang kepada komunikator atau persuader untuk menyesuaikan serta mengikat informasi dan pengalaman bersama tersebut dengan produk, gagasan, atau kandidat yang dimiliki.

2. Selektivitas Penerima

Efek media massa dalam komunikasi persuasif berikutnya terkait dengan selektivitas penerima. Semakin beragamnya media komunikasi dengan sendirinya menuntut penerima atau khalayak untuk lebih selektif lagi dalam memilih media. Semua ini mengarah pada narrowcasting. Narrowcasting mengacu pada perancangan pesan-pesan elektronik untuk kluster tertentu yang memiliki minat, kegemaran, atau kegiatan tertentu.

3. Menggunakan Media

Efek media massa dalam komunikasi persuasif selanjutnya terkait dengan bagaimana khalayak  menggunakan media. Penggunaan media oleh khalayak tidak dapat dilepaskan dari pendekatan teori uses and gratification. Menurut pendekatan ini, media massa memiliki beberapa fungsi yaitu menyediakan informasi baru dan persuasi sikap. Menurut para pendirinya, pendekatan ini ditujukan untuk mengkaji berbagai kebutuhan baik psikologis maupun sosial yang dapat dipenuhi oleh media massa.



Kebutuhan tersebut dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu identitas sosial, kontak sosial, serta pengalihan dan hiburan. Pendekatan ini juga memandang khalayak sebagai makhluk yang aktif, rasional, dan selektif dalam memilih dan menggunakan media.

4. Membentuk Citra

Menurut Roberts (1977), citra adalah representasi keseluruhan informasi tentang dunia yang telah diolah, diorganisasikan, dan disimpan individu. Lebih lanjut Roberts menyatakan bahwa komunikasi tidak secara langsung menimbulkan perilaku tertentu tetapi cenderung memengaruhi cara kita mengorganisasikan citra kita tentang lingkungan dan citra inilah yang memengaruhi cara kita berperilaku (Rakhmat, 2001 : 223-224).

Menurut McLuhan, media massa berperan dalam proses penyampaian informasi tentang segala hal yang ada di sekitar kita atau hal-hal yang tidak dapat kita alami secara langsung. Realitas yang dibentuk oleh media massa merupakan realitas tangan kedua, dalam artian media massa menyeleksi realitas yang ada melalui proses gatekeeping dan kemudian menyajikannya kepada khalayak.

5. Mengubah Citra

Selain membentuk citra, media massa juga berperan dalam mengubah citra. Hal ini ini terkait dengan peran media massa melaporkan berbagai hal yang ada di sekitar kita secara selektif sehingga  memengaruhi pembentukan citra yang tidak sesuai, tidak cermat, dan bias. Jika hal ini dilakukan secara terus menerus oleh media massa, maka media massa sejatinya memberikan citra dunia yang keliru kepada khalayak.

6. Menentukan Agenda Publik

Di satu sisi, orang cenderung memerhatikan, tertarik, dan membicarakan tentang berbagai informasi  yang diterima melalui media massa. Di sisi lain, media massa kerapkali menyuguhkan realitas secara tidak utuh atau selektif. Hal ini berdampak terhadap apa yang orang-orang pelajari dan tanggapi. Selektivitas informasi yang dilakukan media massa inilah yang dapat mengarah pada penentuan agenda publik. Hal-hal terkait dengan penentuan agenda publik diulas lebih lengkap dalam teori agenda setting.


7. Memberikan Arti Penting

Efek media massa dalam komunikasi persuasif selanjutnya adalah media memberikan arti penting terhadap orang, kejadian atau peristiwa tertentu. Dengan kata lain, media massa yang menaruh perhatian orang-orang, peristiwa, atau permasalahan tertentu sejatinya media massa telah memberikan arti penting terhadap orang-orang, peristiwa atau permasalahan tersebut di mata publik.

Perhatian besar yang diberikan oleh media massa terhadap orang, peristiwa atau permasalahan yang dianggap penting akan pula menjadi perhatian besar khalayak massa.  Misalnya, di bidang politik, kandidat yang tidak begitu terkenal sebelumnya namun berhasil memenangkan pemilihan karena mendapatkan perhatian media massa yang jauh lebih besar dibandingkan kandidat lainnya.

8. Merubah Sikap

Dalam bidang komunikasi pemasaran atau periklanan, media massa efektif dalam merubah sikap khalayak karena khalayak dipandang memiliki sikap yang lemah sehingga mudah dipersuasi melalui media massa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak mudah dipengaruhi oleh iklan-iklan produk makanan atau mainan dibandingkan dengan orang tua.  Hal ini juga berlaku di bidang komunikasi politik. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pemilih cenderung akan merubah sikap dan pendapatnya apabila pemilih belum menentukan sikapnya hingga akhirnya menentukan sikap setelah dipengaruhi oleh kampanye media massa.

9. Memperteguh Sikap

Dari berbagai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli menunjukkan bahwa efek media massa adalah memperkuat atau memperteguh sikap yang telah ada sebelumnya. Misalnya, dalam kampanye debat publik pilpres, hasil studi menunjukkan bahwa efek utama media massa dalam kampanye adalah untuk memperteguh atau memperkuat preferensi khalayak terhadap kandidat dan meningkatkan konsistensi sikap khalayak terhadap berbagai permasalahan yang diangkat saat kampanye.

10. Membentuk Kepercayaan atau Keyakinan

Kepercayaan atau keyakinan dimaknai sebagai kognisi tentang probabilitas sebuah obyek atau peristiwa diasosiasikan dengan atribusi tertentu. Dengan kata lain, keyakinan adalah yakin bahwa sesuatu itu benar atau nyata. Media massa memiliki kekuatan untuk menciptakan dan membentuk keyakinan kita secara terus menerus.

11. Membentuk Sikap

Efek media massa dalam komunikasi persuasif berikutnya adalah membentuk sikap khalayak. Sikap dibentuk dengan menghubungkan atau mengasosiasikan lingkungan yang menyenangkan dengan sebuah produk, orang, atau gagasan. Misalnya, dalam iklan sepeda motor, pemasar menampilkan sosok legenda pebalap motor dengan tujuan untuk membantu menciptakan sikap khalayak terhadap produk dan menghubungkan produk tersebut dengan kecepatan dan prestasi sang legenda pebalap motor.

12. Perilaku Prososial

Media massa dipandang menimbulkan efek perilaku prososial khalayak. Contoh perilaku prososial adalah memiliki keterampilan yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain. Misalnya, hasil studi menunjukkan bahwa iklan layanan masyarakat antigondok telah meningkatkan jumlah rumah tangga yang menggunakan garam beryodium di Ekuador.

13. Kognitif Prososial

Efek media massa dalam komunikasi persuasif lainnya adalah memberikan efek kognitif prososial khalayak. Dalam artian, khalayak memperoleh manfaat yang dikehendaki melalui media massa. Contohnya, hasil studi menunjukkan bahwa program televisi “Sesame Street” mempermudah proses belajar bagi anak-anak di Amerika Serikat.

14. Meningkatkan Aksesibilitas Informasi

Media massa juga dipandang memiliki efek meningkatkan akses informasi bagi khalayak. Aksesibilitas adalah konsep penting dalam model sikap dan menjadi salah satu tema yang diperhitungkan dalam penelitian psikologi sosial. Aksesibilitas mengacu pada kemudahan dimana unsur kognitif dapat diaktifkan. Perbedaan aksesibilitas menghasilkan tiga konsekuensi yang berbeda  yaitu realitas kultivasi, agenda setting, dan pemberian prestise atau arti penting.



15. Kultivasi

Berdasarkan teori kultivasi, media massa khususnya televisi dipandang sebagai sumber utama sistem simbol yang repetitif dan ritual. Dunia simbolis yang ditawarkan oleh televisi berasal dari produksi pesan secara massal yang dilakukan oleh berbagai kalangan untuk konsumsi banyak orang. Konsep yang ditawarkan oleh pendiri teori kultivasi dipandang parallel dengan konsep dasar efek persuasi pembentukan tanggapan.

16. Framing

Salah satu konsep yang berkaitan erat dengan efek kultivasi adalah framing atau pembingkaian permasalahan publik misalnya permasalahan terkait kebijakan aborsi. Berdasarkan teori framing, permasalahan aborsi ini kemudian dibingkai sebagai hak perempuan untuk mengendalikan atau mengontrol tubuhnya atau hak janin untuk tetap hidup. Contoh lainnya adalah beberapa hasil studi menunjukkan bahwa pembentukan opini publik dipengaruhi oleh cara media membingkai isu dan tokoh yang membicarakannya.

17. Adopsi Inovasi

Efek media massa dalam komunikasi persuasif yang terakhir adalah membujuk orang lain untuk mengadopsi gagasan atau teknologi baru. Berdasarkan teori difusi inovasi, proses adopsi inovasi diawali oleh media yang pertama kali menyebarkan berita tentang sebuah gagasan baru namun yang paling berperan dalam membujuk orang lain untuk melakukan perubahan adalah jaringan interpersonal. Seiring berjalannya waktu, inovasi diadopsi oleh khalayak yang lebih luas. Jika inovasi tersebut dipandang tidak menimbulkan konflik maka proses adopsi inovasi akan lebih mudah. Namun, jika inovasi tersebut dipandang dapat menimbulkan konflik maka adopsi inovasi tidak akan terjadi

Struktur Kepemilikan Media
Kepemilikian Media

Daya tarik televisi yang sangat luar biasa menimbulkan pengaruh yang sangat kuat. Kekuatan televisi dalam membentuk opini masyarakat secara cepat dan menciptakan efek yang mampu memengaruhi perilaku publik, seharusnya diimbangi dengan lahirnya kebijakan maupun etika dalam mengatur televisi agar dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Sejak abad ke 20, kepentingan kapital telah menentukan arah tumbuhnya media, bahkan besar-kuatnya media. Pemilik media adalah para “businessman”; mereka merupakan pemilik modal yang mendirikan atau turut mendirikan usaha media dan berupaya untuk mencari keuntungan ekonomi melalui usahanya itu. Struktur organisasi media menjadi berkaitan dengan sistem ekonomi kapitalis yang membawa tujuan bisnis kompetitif dari pemilik industri media. Setiap media menghitung laba yang dikeluarkan dari tiap kerja pemberitaannya. Maka, item-item pemberitaan pun diseleksi dengan menggunakan asumsi riset pasar. Kerja pemberitaan bukan lagi dihitung hanya berdasar ongkos operasional liputan.

Dalam menjalankan usahanya, media atau pemilik media bersinggungan dengan kekuasaan. Para pemilik media kerap ditemukan sebagai elit-elit bisnis industri yang berhubungan erat dengan para elit pemegang kekuasaan. Bisnis mereka kerap terkait dengan kebijakan elite kekuasaan. Hal itu mengakibatkan “politik dagang” para pemilik media dituding ikut melestarikan status quo kekuasaan para tokoh politik yang menjadi rekanan mereka.

Seiring dengan terjadinya revolusi teknologi penyiaran dan informasi, industri media terbentuk dan menjadi besar dengan cara kepemilikan saham, penggabungan dalam joint-venture, pembentukan kerja sama, atau pendirian kartel komunikasi raksasa yang memiliki puluhan bahkan ratusan media. (Saverin dan Tankard, 2007). Lebih lanjut, Saverin dan Tankard mengatakan fenomena tersebut bukanlah semata-mata fenomena bisnis melainkan fenomena ekonomi-politik yang melibatkan kekuasaan. Kepemilikan media, bukan hanya berurusan dengan persoalan produk, tetapi berkaitan juga dengan bagaimana lanskap sosial, citraan, berita, pesan, dan kata-kata dikontrol dan disosialisasikan kepada publik (masyarakat). Contoh dalam korporasi media saat ini, khususnya televisi, di Indonesia seperti PT. MNC Group, PT. Trans Corp, dan lain sebagainya. Jaringan televisi MNC (Media Nusantara Citra) merupakan yang terbesar di Indonesia menaungi stasiun televisi seperti RCTI, MNC TV, dan Global TV. Sementara itu, RCTI (Rajawali Citra Televisi) adalah stasiun televisi swasta pertama yang mulai mengudara pada bulan Agustus 1989. RCTI dengan cepat menjadi televisi swasta terbesar karena didukung oleh pemerintahan saat itu Presiden Soeharto. Selama orde baru, bisnis media terkonsentrasi pada segelintir pelaku bisnis dan aktor politik yang mempunyai akses kuat ke lingkaran kekuasaan. Hal ini bertujuan untuk menghendaki upaya-upaya yang mengarah pada konsolidasi dan konvergensi dalam bisnis media modern. Konsentrasi semacam ini menimbulkan paradoks yang berkaitan dengan fungsi media sebagai ruang publik dengan sejumlah fungsi-fungsi sosial yang melekat di dalamnya.

Dalam pendekatan ekonomi politik, kepemilikan media (media ownership) mempunyai arti penting untuk melihat peran, ideologi, konten media, dan efek yang ditimbulkan media kepada masyarakat. Karena itu pertanyaan-pertanyaan mengenai “apakah perbedaan pemilik media akan juga berarti adanya perbedaan pada konten media?” atau “apakah perbedaan pemilik media dapat memberikan implikasi yang berbeda pula kepada masyarakat selaku audience media?” menjadi sangat relevan.

Menurut Giddens, sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para pemilik media merupakan pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi. Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik media dengan kontrol media sebagai sebuah hubungan tidak langsung. Bahkan pemilik media, menurut Meier, dapat memainkan peranan yang signifikan dalam melakukan legitimasi terhadap ketidaksetaraan pendapatan (wealth), kekuasaan (power) dan privilege.

Kepemilikan media itu bersifat kapitalistik. Analisis kepemilikan media yang bersifat kapitalistik akan dapat dijumpai jika berada pada satu negara yang menganut sistem demokrasi, dimana campur tangan pemerintah sangat sedikit dalam mengatur media dan pasar memegang kendali dalam semangat kapitalisme. Para peneliti, baik liberal maupun Marxis, sama-sama sepakat bahwa analisis kepemilikan media berhubungan erat pada kapitalisme. Kepemilikan media juga menjadi sebuah term yang selalu dihubungkan dengan konglomerasi dan monopoli media.

Pembatasan dan Regulasi Kepemilikan Dewasa ini kecenderungan industri media sebagai alat  kapitalisme menjadi semakin nyata. Bentuknya menjadi semakin menggurita, menjangkau ke mana-mana, cenderung ingin memonopoli dan bahkan melintasi batas negara. Tetapi kontrol pemilikannya justru makin terkonsentrasi hanya pada beberapa orang saja.  Dalam menjelaskan fenomena tersebut Peter Gollding dan Graham Murdoch mengatakan “Media as a political and economic vehicle, tend to be controlled by conglomerates and media barons who are becoming fewer in number but through acquisition, controlled  the larger part of the world’s mass media and mass communication” (2000: 71). Menurut Feintuck, regulasi penyiaraan mengatur tiga hal yakni struktur, tingkah laku, dan isi. Regulasi struktur (structural regulation) berisi pola-pola kepemilikan media oleh pasar, regulasi tingkah laku (behavioural regulation) dimaksudkan untuk mengatur tata-laksana penggunaan properti dalam kaitannya dengan kompetitor, dan regulasi isi (content regulation) yang menjadi batasan material siaran yang boleh dan tidak untuk disiarkan.

Mengatur atau membatasi pemusatan kepimilikan media massa, khususnya penyiaran yang menggunakan ranah publik (public domain) perlu dilakukanuntuk menjamin adanya keragaman kepemilikan (diversity of ownership), keragaman isi (diversity of ownership), dan kebergaman pendapat di media (diversity of voice). Menurut Giddens, sebagaimana dikutip Werner A. Meier, para pemilik media merupakan pihak yang kuat yang belum dapat “ditundukkan” dalam demokrasi. Golding dan Murdock melihat adanya hubungan erat antara pemilik mediadengan kontrol media sebagai sebuah hubungan tidak langsung.

Pada dasarnya kebijakan soal pembatasan Monopoli, Konglomerasi, dan Kepemilikan Silang (Media Penyiaran) sesungguhnya telah diatur dalam peraturan hukum, yakni UU Penyiaran nomor 32 tahun 2002 ayat 1, pasal 18. Di sana disebutkan: “Pemusatan kepemilikan dan penguasaan lembaga penyiaran swasta oleh satu orang atau satu badan hukum, baik di satu wilayah siar maupun beberapa wilayah siar, dibatasi.”


Selanjutnya Peraturan Pemerintah nomor  50 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta menyebutkan tentang pembatasan kepemilikan dan pen­guasaan atas jasa penyiaran radio dan televisi dikatakan: Pasal 31 1)      Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:

1.      1 (satu) badan hukum hanya boleh memiliki 1 (satu) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran ra­dio;

2.      paling banyak memiliki saham sebesar 100% (se­ratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu) sampai dengan ke-7 (ketujuh);

3.      paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-8 (kedelapan) sampai dengan ke-14 (keempat belas);

4.      paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-15 (kelima belas) sampai dengan ke-21 (kedua puluh satu)

5.      paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-22 (ke dua puluh dua) dan seterusnya).

6.      badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah kabupaten/kota yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

2)      Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham sebesar 100% (seratus perseratus) untuk Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio yang berada di daerah perbatasan wilayah nasional dan/atau daerah terpencil. 2)  Kepemilikan 1)      Kepemilikan badan hukum sebagaimana dimak­sud pada ayat (1) berupa saham yang dimiliki oleh paling sedikit 2 (dua) orang sesuai dengan keten­tuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 2)      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan informasi masyarakat. Paragraf 2 Jasa Penyiaran Televisi Pasal 32 1)      Pemusatan kepemilikan dan penguasaan Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi oleh 1 (satu) orang atau 1 (satu) badan hukum, baik di satu wilayah siaran maupun di beberapa wilayah siaran, di seluruh wilayah Indonesia dibatasi sebagai berikut:

1.      1 (satu) badan hukum paling banyak memiliki 2 (dua) izin penyelenggaraan penyiaran jasa penyiaran televisi, yang berlokasi di 2 (dua) provinsi yang ber­beda;

2.      paling banyak memiliki saham sebesar 100% (seratus perseratus) pada badan hukum ke-1 (kesatu);

3.      paling banyak memiliki saham sebesar 49% (empat puluh sembilan perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua);

4.      paling banyak memiliki saham sebesar 20% (dua puluh perseratus) pada badan hukum ke-3 (ketiga);

5.      paling banyak memiliki saham sebesar 5% (lima perseratus) pada badan hukum ke-4. (keempat) dan seterusnya;

6.      badan hukum sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, berlokasi di beberapa wilayah provinsi yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia.

2)      Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e, memungkinkan kepemilikan saham lebih dari 49% (empat puluh sembilan perseratus) dan paling banyak 90% (sembilan puluh perseratus) pada badan hukum ke-2 (kedua) dan seterusnya hanya untuk Lembaga Penyiaran Swasta yang telah mengoperasikan sampai dengan jumlah stasiun relai yang dimilikinya sebelum ditetapkannya Peraturan Pemerintah ini. 3)    Kepemilikan 4)      Kepemilikan Lembaga Penyiaran Swasta seba­gaimana dimaksud pada ayat (1) berupa saham yang dimiliki oleh paling sedikit 2 (dua) orang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 5)      Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali untuk disesuaikan  dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan informasi masyarakat. Bagian Kedua Pembatasan Kepemilikan Silang Pasal 33 Kepemilikan silang antara Lembaga Penyiaran Swasta, perusahaan media cetak, dan Lembaga Penyiaran Berlangganan baik langsung maupun tidak langsung dibatasi sebagai berikut:

1.      1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlangganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau

2.      1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Berlang­ganan dengan 1 (satu) perusahaan media cetak di wilayah yang sama; atau

3.      1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran radio dan 1 (satu) Lembaga Penyiaran Swasta jasa penyiaran televisi dengan 1 (satu) Lembaga Penyi­aran Berlangganan di wilayah yang sama.

Namun UU yang mengatur cross ownership ini ditentang bahkan mendapat penolakan keras dari pemilik media dan praktisi. Mereka bergabung dalam berbagai organisasi, di antaranya Asosiasi Televisi Seluruh Indonesia (ATVSI), Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), serta Masyarakat Pers dan Penyiaran Indonesia (MPPI). Dasar dari penolakan terhadap larangan cross ownership ini dilakukan atas nama kebebasan pers, revolusi teknologi informasi dan wacana demokrasi yang sedang dibangun Indonesia.

Sekilas alasan penolakan pemilik media dan praktisi di atas tampak rasional dan sulit terbantahkan, terutama untuk alasan kebebasan pers. Namun tampaknya penolakan itu bukanlah semata-mata keinginan untuk mendapatkan kebebasan berusaha seiring dengan makna kebebasan pers. Namun, juga ada alasan lain, yaitu bagaimana pemilik media dengan kekuatan modalnya melalui free trade memperoleh keuntungan yang sebesar-besar dari bisnis ini.

Di Indonesia, peraturan hukum tentang anti monopoli, pemusatan, dan kepemilikan silang media penyiaran sudah ada dan jelas berlaku sejak diundangkan, namun dalam praktiknya hingga saat ini, indsutri media penyiaran masih dikuasai kelompok tertentu. Dengan kata lain, penegakan hukum (law inforcement) tidak berjalan dengan baik, dan “kebijakan” penegakan hukum inilah yang perlu diprioritaskan oleh pemerintah dalam rangka menciptakan industri penyiaran yang demokratis.

Dalam sistem demokrasi, menurut Siregar (2008: 40), regulasi terhadap media pada dasarnya dipilah menjadi dua bagian besar, yakni media yang tidak menggunakan ranah publik (public domain) dan media yang menggunakan ranah publik.Media yang tidak menggunakan ranah publik, misalnya, buku, majalah, suratkabar ataupun film (kecuali jika disiarkan melalui tv) maka regulasinya menggunakan prinsip self-regulatory. Dalam konteks Indonesia, di bidang pers misalnya, Dewan Pers dibentuk untuk mengatur pers dari segi etika jurnalistik baik etika jurnalistik media cetak maupun elektronik, sedangkan hal-hal yang menyangkut pemusatan kepemilikan dan persaingan usaha, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum. Regulasi Media di Negara Lain Ben Bagdikian, dalam artikel yang ditulis oleh Iwan Awaluddin Yusuf (2010), meneliti perkembangan industri media di Amerika Serikat sejak pertengahan tahun 1980-an. Ketika itu ia menggambarkan bahwa pada tahun 1980-an di AS terdapat 50 perusahaan besar yang menguasai jaringan bisnis media di seluruh Amerika. Beberapa tahun kemudian ia membuat penelitian yang sama, jumlah perusahaan media besar tinggal setengahnya. Terakhir pada tahun 1997, ia meneliti lagi dan jumlahnya tinggal 5 grup media yang menguasai 60% dari seluruh media di Amerika, yakni the big five: Time Warner, Disney, Murdoch’s News, Viacom, dan Bertelsmann (Bagdikian, 2004: 27). Dalam rentang masa 20 tahun, dari 50 media telah berada di bawah lima konsentrasi media. Melalui ulasan Bagdikian yang kemudian menjadi kritik klasik bagi analisis korporasi media, terungkap bahwa gejala tersebut akhirnya menjadi fenomena global yang disinyalir merupakan sisi gelap dari kebebasan pers. Liberalisasi media takterkendali yang bersinergi dengan pasar bebas akhirnya menciptakan pemusatan kepemilikan media hanya pada segelintir kelompok tertentu yang menguasai modal. Temuan bagdikian ini senada dengan analisis Herbert Schiller (1996: 249-264), salah seorang tokoh dalam ilmu komunikasi yang menggambarkan bahwa perkembangan signifikan dalam industri media dan komunikasi global terjadi setelah Perang Dunia II. Makin lama terlihat bahwa perusahaan-­perusahaan yang dominan di Amerika maupun dunia terkonsolidasi dalam perusahaan-perusahaan besar dengan aset yang mencapai nilai milyaran dollar. Di antara mereka sendiri terjadi merger antara satu perusa­haan dengan perusahaan lain sehingga kekuatan kapital mereka makin lama makin terkonsentrasi di tangan sejumlah perusahaan baja, sementara itu trend lain yang juga terjadi dalam industri media global adalah tren konvergensi kepemilikan silang yang terjadi antara satu industri dengan idustri lainnya. Lebih jauh Edward S. Herman dan Robert W. McChesney dalam bukunya The Global Media: A New Missionaries to Corporate Capitalism(1997) menunjukkan bahwa sejak pertengahan tahun 1980-an, industri media global menunjukkan perkembangan terjadinya kapitalisasi dan industri media yang makin lama hanya dikuasai oleh beberapa pelaku industri. Pada buku yang lain, McChesney (1997; 1998; 2000) menyindir konglomerasi ini sebagai kondisi Rich Media Poor Democracy,meski menguntungkan secara ekonomi, konglomerasi merupakan ancaman bagi iklim demokrasi. Demokrasi menghendaki adanya akses kepemilikian media yang merata dan tidak terpusat segelintir orang atau sekelompok orang dengan agenda kepentingan masing-masing. Di negara demokrasi manapun, jika suatu media menggunakan public domain,maka regulasinya sangat ketat. Ini karena ketika seseorang atau suatu badan telah diberi frekuensi maka sebenarnya is telah diberi hak monopoli oleh negara untuk menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran. Dalam kaitan ini, regulasi terhadap radio dan televisi berlangsung sangat ketat (“highly regulated”). Di Amerika Serikat, regulatornya adalah“FederalCommunications Commission”,di Afrika Selatan adalah “Independent Communication Authority of South Africa”(ICASA), dan banyak lagi lembaga semacarn itu di negara demokrasi di dunia. Regulator di negara-negara demokrasi ini adalah badan independen negara yang bersifat “quasi yudicial”.Untuk Indonesia, regulatornyaadalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berhubungan dengan isi, dan Pemerintah, dalam hal ini Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo), yang berhubungan dengan penggunaan frekuensi dan pemberian izin penyiaran (Siregar, 2008: 40). Menurut Dominick (2001: 214), ada beberapa alasan penting mengapa media yang menggunakan public domain regulasinya berbeda dengan media yang tidak menggunakan public domain. Pertama, alasan utama jelas karena media tersebut menggunakan public domain,barang publik. Oleh karenanya, harus diatur secara ketat. Pengaturan tersebut ditujukan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Kedua, public domain mengandung prinsip scarcity (scarcity theory).Di Jakarta, misalnya, jumlah televis terestrial yang ada sepuluh, tidak mungkin bisa lebih kecuali terdapat teknologi digital. Meskipun demikian, jumlahnya tetap akan terbatas. Ini akan sangat berbeda dengan koran dimana keberadaannya tidak mungkin bisa dibatasi, dia bisa saja seratus, dua ratus, atau bahkan tiga ratus buah jumlahnya. D sini, jumlah koran atau majalah eksistensinya hanya menyangkut ukuran-ukuran ekonomi. Namun, media yang menggunakan public domainsangat berbeda karena keberadaannya yang sangat terbatas. Ketiga, sifatnya yang pervasif (pervasive presence theory),meluas dan tersebar secara cepat ke ruang- ruang keluarga tanpa kita undang. Ketika seseorang membaca koran, misalnya, maka kontrol atas apa yang dibaca dan dimana membacanya akan sangat tergantung pada si pembaca. Namun, media-media yang menggunakan public domain karena sifatnya yang pervasif,muatan isi media hampir tidak bisa terkontrol oleh siapapun. Media ini jugs hadir dima­mana dalam ruang dan waktu yang tidak terbatas. ­Oleh karena itulah, perlu ada regulasi untuk media-media yang menggunakan public domain.

Media televisi merupakan media siar yang menggunakan frekuensi yang sebenarnya milik publik. Amerika dan Erope memiliki cara yang berbeda dalam penataan media televisi. Dalam menyikapi public broadcasting (termasuk televisi), Amerika menyerahkan sepenuhnya kepada pihak swasta dengan pertimbangan meningkatkan nilai ekonomi, meningkatkan kualitas produksi, meningkatkan perkembangan industri media, dan mendukung industri cosumer goods. Barulah pada tahun 1960an, AS mengembangkan Public Broadcasting Service (PBS).

Sementara itu, Eropa menilai bahwa penyiaran merupakan media yang membawa produk budaya. Sejak awal, Eropa menilai bahwa lembaga penyiaran publik dianggap sebagai format penyiaran terbaik agar tidak terjebak dalam jebakan orientasi keuntungan yang memaksa lembaga penyiaran menyajikan muatan kebudayaan rendah. Ide ini bermula di

Inggris ketika lahirnya BBC. Di Eropa, lembaga penyiaran publik tidak menjadi alat propaganda pemerintah walaupun didanai oleh negara. Namun, lembaga penyiaran publik haruslah menyajikan keragaman informasi dan muatan yang sehat bagi publik.

Untuk penataan atas media penyiaran, Eropa dan Amerika membentuk badan regulasi khusus, disebut juga State Auxliary Body yang bukan merupakan bagian dari pemerintahan yang berkuasa. Di Amerika dikenal dengan FCC (Federal Communications Comission) dan Eropa dikenal dengan OfCom (Office of Communication). Lembaga regulator tersebut menjami bahwa pemberian izin penggunaan frekuensi publik (dalam hal ini misalnya televisi) dilakukan dengan memperhatikan kepentingan publik.

Kewajiban OfCom antara lain:

a)      Menjami pemanfaatan optimal spektrum elektromagnetik.

b)      Menjami bahwa seluruh jasa komunikasi elektronik tersedia.

c)      Menjami hadirnya beragam jasa TV dan radio yang berkualitas tinggi dan memiliki

daya tarik luas.

d)     Mempertahankan keberagaman dalam penyiaran.

e)      Menerapkan perlindungan memadai bagi khalayak dari materi yang ofensif dan

berbahaya.

f)       Menerapkan perlindungan memadai bagi khalayak dari muatan yang tidak fair dan

pelanggaran privacy.

Sementara itu, FCC bertanggungjawab mengatur semua penggunaan spektrum radio termasuk radio, TV, telekomunikasi antar-negara bagian (kabel atau satelit) yang berasal atau yang ditujukan ke Amerika Serikat. Dari segi isi siaran, FCC dapat menetapkan bahwa industi penyiaran harus berkompetisi secara sehat dan efesien. FCC dapat memberikan sanksi dan denda bagi industri penyiaran yang melanggar aturan, bahkan dapat mencabut izin penyiaran dan tidak memperpanjang izin siaran.

Menurut pandangan saya, model penataan industri penyiaran di Eropa cocok diterapkan di Indonesia. Hal ini berkaca dari kondisi saat ini, dimana industri penyiaraan (televisi) di Indonesia hanya dikuasai oleh segelintir orang saja. Misalnya MNC Group yang meliputi RCTI, Global TV, dan MNC TV dikuasai oleh Hary Tanoesoedibjo. Dampaknya pemberitaan yang disampaikan oleh tiga stasiun televisi tersebut seringkali tidak berpihak pada kepentingan publik. Dalam banyak kasus, justru kepentingan owner-lah yang lebih diutamakan. Sebagai contoh, melalui program Kuis Kebangsaan di RCTI, pemilik media yang juga seorang politisi memanfaatkan saluran publik untuk mengkampanyekan dirinya agar dipilih orang masyaraat pada saat Pemilu.

Dalam teori komunikasi massa, hal tersebut dinamakan teori agenda setting. Teori agenda setting berangkat dari asumsi “menciptakan apa yang menurut publik dianggap penting.” Media menata (men-setting) sebuah agenda terhadap isu tertentu sehingga isu itu dianggap penting oleh publik yang salah satunya karena isu tersebut berhubungan dengan kepentingan publik, baik secara langsung atau tidak. Caranya, media dapat menampilkan isu-isu itu secara terus menerus dengan memberikan ruang dan waktu bagi publik untuk mengkonsumsinya, sehingga publik sadar atau tahu akan isu-isu tersebut, kemudian publik menganggapnya penting dan meyakininya. Sebetulnya, dengan kata lain, isu yang dianggap publik penting pada dasarnya adalah karena media menganggapnya penting.

Dua asumsi dasar agenda setting adalah; (1) Media dan pers tidak merefleksikan realitas; media memfilter dan mempertajam realitas itu. (2) Media berkonsentrasi pada beberapa isu atau subjek yang membawa publik untuk memperhatikan hanya pada isu-isu tersebut sebagai isu yang lebih penting dari isu-isu lain. Salah satu yang paling penting dari konsep agenda setting di dalam komunikasi massa adalah “time frame” untuk fenomena ini.

Masing-masing dari tiga agenda dalam definisi luas agenda setting merupakan variabel yang terpisah dan dependen, namun saling memiliki hubungan. Meski ada yang mengatakan bahwa agenda media yang mempengaruhi munculnya agenda publik atau sebaliknya, tapi kesimpulan yang muncul setelah penelitian McCombs dan Shaw’s menggarisbawahi bahwa agenda media dan agenda publik memiliki hubungan yang lebih bersifat resiprokal atau timbal balik. Kemudian kedua variabel agenda tersebut akan diikuti oleh variabel agenda kebijakan.

Maka kekuasaan pemilik media, meski secara etik dibatasi dan secara normatif disangkal, bukan saja memberi pengaruh pada konten media, namun juga memberikan implikasi logis kepada masyarakat selaku audience. Pemberitaan media menjadi tidak bebas lagi; muatannya kerap memperhitungkan aspek pasar dan politik. Produk pemberitaan menjadi margin komoditas laba ekonomi sekaligus margin kepentingan politik. Hal itu, pada banyak kasus, telah mereduksi kemandirian institusi media. Akibatnya, terjadi kasus-kasus dimana liputan media harus berhadapan dengan kepentingan politik dan bisnis. Tema-tema liputan disesuaikan dengan orientasi tersebut.

Dampak lainnya ialah perubahan arah pemberitaan. Area pemberitaan “hard journalism” berubah jadi “soft journalism”. Kisah-kisah soft news dan human interest menjadi buruan wartawan. Liputan politik, seperti korupsi dan manipulasi serta nepotisme, menjadi fleksibel dan adaptabel. Berita-berita tersebut tidak segera atau bahkan terkadang tidak dapat disiarkan. Tapi, kerap dihambat, difilter, diatur, atau dikontrol.

Daftar Pustaka
Asep Syamsul M. Romli, Jurnalistik Terapan, Batic Presss, Cet. III, 2005.
Asep Syamsul M. Romli, Kamus Jurnalistik. Simbiosa, 2009.
Denis McQuail, Mass Communication Theory (Teori Komunikasi Massa), Erlangga, 1987.
Djafar H. Assegaf, Jurnalistik Masa Kini, Ghalia Indonesia, 1991.
H. Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi, PT. Raja Grafindo ,2006
Nurudin, Komunikasi Massa, CESPUR, Malang, September 2003
William R. Rivers at.al., Media Massa dan Masyarakat Modern: Edisi Kedua, Prenada Media, Jakarta, 2003.
Winarni, Komunikasi Massa: Suatu Pengantar, UMM Press, 2003.
Pengertian Demokrasi: Sejarah, Ciri-Ciri, Prinsip, dan Jenis Demokrasi
Lih Katrin Voltmer, mass media and political communication in new democracy, hlm. 7
[2] Ibid, hlm 3
[3] Lih. Moore 1996 dalam Kevin. T. Lecith, dan J. Craig Jenkins, Handbook of  Politics : State and Society in Global Perspective, Hlm. 418







No comments:

Post a Comment