- pemuda bebas berkarya

Breaking

post

recent/hot-posts

Saturday, December 16, 2017



DEMOKRASI INDONESIA


A. Pengertian Demokrasi
            Secara etimologis, kata demokrasi (dari bahasa yunani) adalah bentukan dari dua kata demos (rakyat) dan cratein atau cratos (kekuasaan dan kedaulatan). Perpaduan kata demos dan cratos membentuk kata demokrasi yang memiliki pengertian umum sebagai sebuah bentuk pemerintahan rakyat (goverment of the people) dimana kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan secara langsung oleh rakyat atau melalui para wakil mereka melalui mekanisme pemilihan yang berlangsung secara bebas. Secara substansial, demokrasi adalah seperti yang pernah dikatakan oleh abraham lincoln suatu pemerintahan dari,oleh dan untuk rakyat.
            Demokrasi menjadi sebua kata yang paling diminati oleh siapapun di dunia kekuasaan. Bahkan kata ini sering disalahartikan dan disalahgunakan oleh para pemimpin pemerintahan paling otoriter sekalipun. Mereka acap kali menggunakan slogan-slogan demokrasi demi memperoleh dukungan politik dari masyarakatnya. Namun demikian, demokrasi juga tercatat telah mewarnai perubahan sejarah perjuangan kebebasan umat manusia : dari masa negarawan pericles di kota atena hingga presiden vaclav have di era modern cekoslovakia : dari deklarasi kemerdekan amerika serikat oleh thomas jefferson di tahun 1776 hingga pidato terakhir pemimpin rusia andrei sakharov pada 1989.
            Dalam sejarahnya, demokrasi sering bersanding dengan kebebasan (freedom) namun demikian, demokrasi dan kebebasan tidaklah identik : demokrasi merupakan sebuah kumpulan ide dan prinsip tentang kebebasan, bahkan juga mengandung sejumlah praktik dan prosedur menggapai kebebasan, bahkan juga melalui perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Secara singkat, demokrasi merupakan bentuk institusionalisasi dari kebebasan (institutionalization of freedom). Bersandar pada argumen ini, untuk melihat apakah suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis atau tidak terletak pada sejauh mana pemerintahan tersebut berjalan pada prinsip konstitusi,hak asasi manusia,dan persamaan warga negara di hadapan hukum.
            Sejalan dengan perkembangannya, demokrasi mengalami pemaknaan yang berkembang di kalangan para ahli tentang demokrasi. Menurut joseph a. Schmiter, demokrasi adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai keputusan  politik di mana setiap individu memperoleh kekuasaan memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Adaupun menurut sidney hook, demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusannya yang penting secara langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari warga negara dewasa.
            Dalam pengertian yang lebih luas, phillip c. Schmitter mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan di mana pemerintah dimintai tanggung jawa atas tindakan-tindakanya diwilayah publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan wakil-wakil mereka yang telah terpilih.       Hampir senada dengan pandangan ini adalah pengertian demokrasi yang digambarkan oleh henry b mayo : demokrasi sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkata yang didasarkan atas prinsip-prinsip politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminya kebebasan politik.
            Dari beberapa pendapat ahli tentang demokrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakikatnya demokrasi adalah sebuah proses negara yang bertumpu pada peran utama rakyat sebagai pemegang tertinggi kedaulatan. Dengan kata lain, pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang meliputi tiga hal, sebagai berikut :
1. Pemerintah dari rakyat (government for the people) mengandung pengertian bahwa sesuatu pemerintahan yang sah adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum. Pengakuan dan dukungan rakyat bagi suatu pemerintahan sangatlah penting, karena dengan legitimasi politik tersebut pemerintah dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.
2. Pemerintahan oleh rakyat (governmet by the people) memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan pribadi elite negara atau elite birokrasi. Selain pengertian ini, unsur kedua ini mengandung pengertian bahwa dalam menjalankan kekuasaanya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat (sosial control). Pengawasan  dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat maupun tidak langsung melalui para wakilnya di parlemen. Dengan adanya pengawasan para wakil rakyat di parlemen ambisi otoritarianisme dari para penyelenggaran negara dapat dihindari.
3. Pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people) mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan rakyat umum harus dijalankan landasan utama kebijakan sebuah pemerintah yang demokratis[1]

B. Konsep Mengenai Demokrasi
Kita mengenal bermacam-macam istilah demokrasi, ada yang dinamakan demokrasi kostitusional, demokrasi rakyat,demokrasi soviet,domokrasi terpimpin, demokrasi nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang menurut asa kata berarti rakyat berkuasa atat government by the people (kata yunani demos berarti rakyat, kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).
Sesudah perang dunia II kita melihat gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan dasar dari kebanyakan negara didunia. Menurut suatu penelitian yang diselengarakan oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka;” mungkin untuk pertama kali dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh.
Akan tetapi unesco juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap ambigous atau mempunyai berbagai pengertian, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketaktentuan mengenai, “ lembaga-lembaga atau cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural serta historis yang memengaruhi istilah,ide,dan praktik demokrasi.
            Tetapi diantara sekian banyak aliran pikiran yang dinamakan demokrasi ada dua kelompok aliran yang paling penting, yaitu demokrasi konstitusional dan satu kelompok aliran yang menamakan dirinya demokrasi, tetapi yang pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas komunisme. Kedua kelompok aliran demokrasi mula-mula berasal dari eropa, tetapi sesudah perang dunia ke-2 nampaknya juga didukung oleh beberapa negara baru di asia. India, pakistan, filipina, dan indonesia mencita-citakan demokrasi konstitusional,sekalipun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan maupun gaya hidup dalam negara-negara tersebut.
            Dilain pihak ada negara-negara baru di asia yang mendasarkan diria atasa asas-asas komunisme, yaitu china,korea utara, dan sebagainya. Demokrasi yang dianut di indonesia yaitu demokrasi berdasarkan pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan tetapi yang tidak dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusional cukup jelas tersirat di dalam undang-undang dasar 1945 yang belum diamandemen. Selait itu undang-undang dasar kita menyebut secara eksplisit dua prinsip yang menjiwai naskah itu, dan yang dicantumkan dalam penjelasan undang-undang dasar 1945 mengenai sistem pemerintahan negara yaitu:
1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan ata hukum(rechtsstaat). Negara indonesia berdasarkan atas hukum, tidak berdasarkan kekuasaan belaka(machtaat)
2. Sistem konstitusional. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)
            Berdasarkan dua istilah rechtsstaat dan sistem konstitusi, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar undang-undang dasar 1945 yang belum diamandemen ialah domokrasi konstitusional. Disamping itu, corak khas demokrasi indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, dimuat dalam pembukaan undang- undang dasar.
            Sesudah tertumpasnya G 30/S PKI pada tahun 1965 sudah terang bagwa yang kita cita-citakan itu adalah demokrasi konstitusional, tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam demokrasi terpimpin kita sedikit banyak telah terpengaruh oleh beberapa konsep komunis berkat kelihaian PKI untuk menyusupkan konsep-konsep dari alam pikiran komunisme ke dalam kehidupan politik kita dalam masa pra G 30 S/PKI. Maka dari itu perlu kiranya kita menjernihkan pikiran kita sendiri dan meneropong dua aliran pikiran utama yang sangat berbeda, bahkan sering bertentangan serta berkonfrontasi satu sama lainya, yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi yang berdasarkan marxisme-leninisme. Perbedaan fundamental ialah  bahwa demokrasi konstitusional mencita-citakkan pemeritah yang terbata kekuasaannya, suatu  negara hukum (rechsstaat) yang tunduk kepada rule of law. Sebaliknya, demokrasi yang mendasarkan dirinya atas komunisme mencita-citakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaan (machsstaaat), dan sifat totaliter.[2]

C. Sejarah Perkembangan Demokrasi
Pada permulanya pertumbuhannya demokrasi telah mencakup beberapa asa dan nilai, yang diwariskan kepadanya dar masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dan kebudayaan yunaini kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya. Sistem demokrasi yang terdapat di negara-kota (city-state) kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 S.M) merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi yunani dapat diselenggarakan secara efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayah nya terbatas (negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit (300.000 penduduknya dalam satu negara-kota). Lagi pula, ketentuan-ketentuan demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan bagian kecil saja dari penduduk.
            Untuk  mayoritas yang terdiri atas budak belian dan pedagan asing demokrasi tidak berlaku. Dala negara modern demokrasi tidak lagi bersifat langsung, tetapu merupakn demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy). Gagasan demokrasi yunani boleh dikatakan hilang dari dunia barat waktu bangsa romawi, yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan yunani, dikalahkan oleh suku bangsa eropa barat dan benua eropa memasuki abad pertengahan (600-1400). Masyarakat abad pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord) yang kehidupan sosialnya dikuasai oleh paus dan pejabat-pejabat agama lainya; yang kehidupan politiknya ditandai perebutan kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain.
            Dilihat dari sudut perkembangan demokrasi abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu magna charta (piagam besar). Magna charta merupakan semi kontrak antara beberapa bangsawan dan raja jhon dari inggris di mana untuk pertama kali seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin beberapa hak dan privileges dari bawahanya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku untuk rakyat jelata, namun dianggap demokrasi.
            Sebelum abad pertengahan berakhir dan pada permulaan abad ke-16 di eropa barat muncul negara-negara nasional(national state) dalam bentuk yang modern. Eropa barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal dapat memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasanya. Dua kejadian ini ialah renaissance reformasi (1350-1600) yang terutama berpengaruh di eropa selatan seperti italia, dan reformasi (1500-1650) yang mendapat banyak pengikutnya di eropa utara, seperti di jerman dan swiss.
            Renaissance adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada kesusastraan dan kebudayaan yunani kuno yang selama abad pertengahan telah disisihkan. Aliran ini membelokkan perhatian yan tadinya semata-mata diarahkan kepada tulisan-tulisan keagamaan ke arah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan timbulnya pandangan-pandangan baru. Reformasi serta perang-perang agama yang menyusul akhirnya baik di bidang spritual dalam bentuk dogma, maupun di bidang sosial dan politik. Hasil pergumulan ini ialah timbulnya gagasan mengenai perlunya ada kebebasan beragama serta ada garis pemisah yang tegas antara soal-soal agama dan soal-soal keduniawian, khususnya di bidang pemerintah. Ini dinamakan pemisah anatara gereja dan negara.
            Monarki-monarki absolut ini telah muncul masa1500-1700, sesuai dan berakhirnya abad pertengahan. Raja-raja absolut menggangap dirinya berhak atas tahtanya berdasarkan konsep hak suci raja (divine right of kings). Raja-raja yang terkenal di spanyol ialah isabela dan ferdinand (1479-1516), diperancis raja-raja bourbon dan sebagainya. Kecaman-kecaman yang dilontarkan terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan kuat dari golongan menengah (middle class) yang mulai berpengaruh berka kemajuan kedudukan ekonomi serta mutu pendidikannya.
Pendobrakan terhadap kedudukan raja-raja absolutisme ini didasarkan atas suatu teori rasionalistis yang umumnya dikenal sebagai sosial contract (kontrak sosial). Salah satu asa dari gagasan kontrak sosial ialah bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang universal;artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia, apaka ia raja,bangsawan,atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan hukum alam (nature law,ius naturale). Unsur universalisme inilah beranggapan bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasari oleh sesuatu kontrak yang ketentuan-ketentuanya mengikat kedua belah pihak. Kontrak sosial menentukan di satu pihak bahwa raja diberi kekuasaan oleh rakyat untuk menyelenggarkan ketertiban dan menciptakan suasana di mana rakyat dapat menikmati hak-hak alamnya (natural rights) dengan aman. Di pihak lain rakyat akan menaati pemerintahan raja asal hak-hak alam itu terjamin.
            Pada hakikatnya teori-teori kontrak sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar daripemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak poltik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini antara lain jhon locke dari inggris (1632-1704) dan  montesquieu dari perancis (1689-1755). Menurut jhon locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup,hak atas kebebasan,dan hak untuk mempunyai milik (life,liberty and property). Monstequieu mencoba menyusun suatu sistem yang dapat menjamin hak-hak politik itu, yang kemudian dikenal dengan istilah trias politica. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi perancis pada akhir abad ke18, serta revolusi amerika melawan inggris.
            Sebagai akibat dari pergolakan tersebut, maka pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud yang kongkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan individu,kesamaan hak (equal rights), serta hak pilih untuk semua warga negara (universal suffrage).[3]

D. Perkembangan Demokrasi Di Indonesia

Perkembangan demokrasi di indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 25 tahun berdirinya republik indonesia ternyata masalah pokok yang kita hadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka ragam pola budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina suatu kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada pokoknya masalah ini berkisar pada penyusunan suatu sistem politik di mana kepemimpinan cukup kuat untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nasional building, dengan partisipasi rakyat seraya menghindari timbulnya diktaktor, apakah detektor ini bersifat perorangan, apa arti ataupun militer. Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu:

  1. Masa republik indonesia I (1945-1959), yaitu masa demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan demokrasi parlementer.
  2. Masa republik indonesia II (1959-1965), yaitu masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya dan menunjukkan berbagai aspek demokrasi rakyat.
  3. Masa republik indonesia III (1965-1998), yaitu masa demokrasi pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
  4. Masa republik indonesia IV (1998- sekarang), itu masa reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa republik indonesia III

1. Masa republik indonesia I (1945-1959) : masa demokrasi konstitusional
Sistem parlementer yang mulai berlaku sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan kemudian diperkuat dalam undang-undang dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk indonesia meskipun dapat berjalan secara memuaskan dengan berbagai negara asia lain. Persatuan yang dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi peluang untuk dominasi partai partai politik dan dewan perwakilan rakyat.
             Undang-undang dasar 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri atas presiden sebagai kepala negara konstitusional dan menteri-menterinya mempunyai tanggung jawab politik. Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil. Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai helm polisi tidak segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu-waktu, kabinet sering jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dengan demikian ditimbulkan kesan bahwa partai-partai dalam koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai permasalahan pemerintahan. Dilain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi.
             umumnya kabinet dalam masa pra pemilihan umum yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata 8 bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak dapat kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pemilihan umum tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan,. Bahkan tidak dapat menghindari perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusat dan beberapa daerah.
Ada beberapa kekuatan sosial dan politik yang tidak memperoleh saluran dan tempat realistis dalam konstelasi politik, padahal merupakan kekuatan yang paling penting, dia itu seorang presiden yang tak mau bertindak sebagai rubberstamp ( presiden yang membubuhi capnya belaka) dan suatu tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dihadapi oleh masyarakat indonesia pada umumnya.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan tidak adanya anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru, mendorong insinyur soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan dekrit presiden 5 juli yang menentukan berlakunya kembali undang-undang dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.

2. Masa Republik Indonesia II (1959-1965) : Masa Demokrasi Terpimpin

Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis dan meluasnya peranan abri sebagai unsur sosial politik.
             dekrit presiden 5 juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-undang dasar 1945 membuka kesempatan bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya 5 tahun. Akan tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat ir soekarno sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu 5 tahun ini ( undang-undang dasar memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh undang-undang dasar. Selain itu, banyak tindakan yang menyimpang dari atau menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang dasar.
Misalnya dalam tahun 1960 ir soekarno sebagai presiden membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum, padahal dalam penjelasan undang-undang dasar 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan perwakilan rakyat gotong royong yang mengganti dewan perwakilan rakyat pilihan rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi kontrol ditiadakan. Bahkan pimpinan dewan perwakilan rakyat dijadikan menteri dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden, disamping fungsi sebagai wakil rakyat.

             hal ini tercermin telah ditinggalnya doktrin trias politika. Dalam rangka ini harus pulau dilihat beberapa ketentuan lain yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif untuk campur tangan di bidang lain selain bidang eksekutif. Misalnya presiden diberi wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan undang-undang No. 19/1964, dan di bidang legislatif berdasarkan peraturan presiden No. 14/1960 dalam hal anggota dewan perwakilan rakyat tidak mencapai mufakat.
             selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan di manapun dan tindakan pemerintah dilaksanakan melalui penetapan presiden  (penpres) yang memakai dekrit 5 juli sebagai sumber hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ekstrakonstitusional seperti front nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai dengan taktik komunis internasional yang menggariskan pembentukan front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak dibenarkan, dan dibreidel, sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30 S/PKI dalam mengakhiri periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa demokrasi pancasila.

3. Masa Republik III (1965-1998) : Masa Demokrasi Pancasila
           
            Landasan formal dari periode ini adalah pancasila, undang-undang dasar 1945, serta ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usah untuk meluruskan kembali penyelewengan terhadap undang-undang dasar yang telah terjadi dalam masa demokrasi terpimpin, telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir soekarno telah dibatalkan dan jabatan presiden kembali menjdai jabatan elektif setiap lima tahun. Ketetapan MPRS No. XIX/1966 telah menentukan ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa demokrasi terpimpin dan atas dasar itu undang-undang baru (no. 14/1970) yang menetapkan kembali ke asas kebebasan badan-badan pengadilan. Dewan perwakilan rakyat gotong royong diberi beberapa hak kontrol di samping tetap mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah.
            Pemimpinya tidak lagi mempunyai status menteri. Begitu pula tata tertib dewan perwakilan rakyat gotong royong yang baru telah meniadakan pasal yang memberi wewenang kepada presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dapat mencapai  mufakat antara anggota legislatif. Golongan karya, dimana anggota ABRI memainkan peranan penting, diberi landasan konstitusional yang lebih formal. Selain itu beberapa hak asasi diusahakan supaya terselenggara lebih penuh dengan memberi kebebasan lebih luas kepada pers untuk menyatakan pendapat dan partai-partai politik untuk bergerak dan menyusun kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat di samping diadakan pembangunan ekonomi secara teratur serta terencana.
            Perkembangan lebih lanjut pada masa republik III (yang juga disebut sebagai orde baru yang menggantikan orde lama) menunjukkan peranan presiden yang semakin besar. Secara lambat laun terciptanya pemusatan kekuasaan di tangan presiden karena presiden soeharto telah menjelma sebagai tokoh yang paling dominan dalam sistem politik indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai presiden dalam sistem presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik indonesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan kemudian membubarkan PKI  dengan menggunakan surat perintah 11 maret (super semar) memberikan peluang yang besar kepada jenderal soeharto untuk tampil sebagai tokoh yang paling berpengaruh di indonesia. Status ini membuka peluang bagi jenderal soeharto untuk menjadi presiden berikutnya sebagai pengganti soekarno.
            Perlunya menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan intergrasi nasional telah digunakan sebagi alat pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan olpolitik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi. Contohnya adalah prinsip monoloyolitas pegawai negeri sipil (PNS). Semua prinsip itu diperlukan untuk melindungi orde baru dari gangguan-gangguan yang mungkin timbul dari musuh-musuh orde baru dengan mewajibkan semua PNS memilki golkar dalam setiap pemilihannya.
            Masa republik indonesia III keberhasilan dalam penyelenggaran pemilu. Pemilu diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama periode tersebut berhasil diadakan enam kali pemilu, masing-masing pada tahun 1971,1977,1982,1997,1992, dan 1997. Dari awal, orde baru memang menginginkan adanya pemilu ini.[4]

             

E. Negara yang Berdasarkan Demokrasi Pancasila
1.  Prinsip Dasar
Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersifat kekeluargaan sebagaimana diuraikan di atas, para pendiri negara selanjutnya mencitacitakan negara yang berkedaulatan rakyat. Untuk itu, dirumuskanlah model demokrasi yangberdasarkan Pancasila yangdiartikan sebagai sistem kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan. Dalam kaitan ini, pokok pikiran ketiga yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 menyatakan negara yang berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratanperwakilan. Dengan demikian, maka Sistem Demokrasi Pancasila tersebut mengandung dua prinsip dasar sebagai berikut ini :
Pertama, prinsip kerakyatan yang berarti bahwa pengaturan pemerintahan dan ekonomi semuanya harus diputuskan bersama oleh seluruh rakyat. Hal ini berarti bahwa segenap keputusan yang berkaitan dengan kebijakan ketatanegaraan harus diputuskan oleh seluruh rakyat bukan keputusan oleh orang perorang atau golongan. Prinsip berikutnya, yaitu permusyawaratan dalam perwakilan dan mufakat. Dalam kaitan ini, Bung Karno dalam pidato di depan Sidang BPUPKI, tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan pertanyaan retoris, “Kemudian apakah dasar yang ke-3?” Lantas beliau jawab sendiri: “Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu Negara untuk satu orang, bukan satu Negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan Negara ‘semua untuk semua’, ‘satu untuk semua, semua untuk satu’.” Kami yakin, bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Selanjutnya, dalam pidato tersebut beliau juga mengatakan “Kalau kita menilai demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan yang memberi hidup, yakni Politiek Economische Democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.” Bahkan, Bung Karno (1958) mengungkapkan, bahwa demokrasi kita janganlah mengikuti model “mayorokrasi” dan “minorokrasi”. Dalam arti kata, demokrasi di Indonesia tujuannya mencapai “win-win solution”, agar merawat persatuan dan kesatuan bangsa. Bukannya, win-lost solutionyang berpotensi the winner takes all yang menimbulkan perpecahan. Dalam kaitan ini selanjutnya Bung Hatta menyatakan: “Pendeknya cara mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata rakyat itu daulat alias raja atas dirinya. Tidak lagi orang seorang atau sekumpulan orang pandai atau segolongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat sendiri. Inilah arti kedaulatan rakyat! Inilah suatu dasar demokrasi atau kerakyatanyang seluas-luasnya. Inilah arti kedaulatan rakyat.Tidak saja dalam hal politik melainkan juga dalam sisi sosial dan ekonomi ada demokrasi.” Dari dua gagasan besar dari dua orang pendiri negara ini mempertegas bahwa demokrasi Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, 1932.

dikemukakan Yudi Latif (2011) mengandung prinsip dasar kerakyatan, permusyawaratan lewat perwakilan dan mufakat (hikmat kebijaksanaan). Kerakyatan, permusyawaratan dan mufakat itulah yang menjadi prinsip dasar demokrasi Pancasila. Ketiga prinsip dasar demokrasi tadi harus dijalankan bersama-sama. Hal ini berarti bahwa demokrasi Pancasila, tidak cukup apabila hanya mengedepankan unsur kerakyatan saja tanpa memperhatikan unsur permusyawaratan dalam perwakilan dan mufakat, demikian pula sebaliknya. Karena, cita permusyawaratan dalam perwakilan dan mufakat akan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara dengan semangat kekeluargaan. Sedangkan, cita mufakat merefleksikan orientasi etis dari bangsa Indonesia. Dengan demikian, dalam demokrasi Pancasila semua pengambilan keputusan kenegaraan harus dilakukan bersama oleh seluruh rakyat melalui permusyawaratan untuk mencapai mufakat. Tiga prinsip tersebut diatas dalam suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh merupakan Doktrin Kerakyatan Indonesia yang menjadi Doktrin menurut Kamus Besar Ilmu Pengetahuan adalah ajaran tentang prinsip-prinsip/asas-asas dalam bidang politik, agama, dll. Doktrin Kerakyatan Indonesia merupakan doktrin yang berprinsip dasar kerakyatan, permusyawaratan okrasi_Pancasila-Subiakto esensi dari sistem demokrasi politik yang sesuai dengan hakikat manusia Indonesia dan paham kekeluargaan. Kedua, demokrasi Pancasila memiliki dimensi demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial lainnya. Sistem demokrasi politik dan ekonomi telah dirumuskan oleh para pendiri negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Menurut Bung Karno dan Bung Hatta, penyelenggaraan demokrasi politik haruslah dilaksanakan terutama bersama-sama dengan demokrasi ekonomi, sehingga kesejahteraan sosial benar-benar terwujud. Jadi, sistem demokrasi Pancasila bagaikan dua wajah dalam satu keping mata uang.
 Pandangan Bung Hatta dan Bung Karno tersebut sangat tepat, karena demokrasi mengandung dua unsur pokok yaitu kebebasan dan kesetaraan. Karena itu demokrasi Pancasila tak mungkin terwujud tanpa adanya kebebasan sekaligus kesetaraan. Hal ini menunjukkan, bahwa terwujudnya kebebasan dan kesetaraan secara bersamaan menjadi prasyarat pokok terwujudnya demokrasi Pancasila. Dalam kaitan ini, Yudi Latif melihat dengan jeli bahwa dalam lewat perwakilan dan mufakat (hikmat kebijaksanaan) secara utuh dan menyeluruh didasarkan Pancasila.
Pembukaan UUD 1945, pencantuman sila keempat dan sila kelima dihubungkan dengan kata sambung “serta”. Hal ini dapat diartikan bahwa sila keempat (kerakyatan) dan sila kelima (keadilan/kesetaraan) merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan
2.  Demokrasi Politik
Dengan landasan prinsip dasar demokrasi Pancasila seperti diuraikan di atas, maka demokrasi politik Indonesia mengandung dua prinsip dasar sebagai berikut ini. Pertama, kedaulatan sepenuhnya ada pada rakyat dan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia.Keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR, utusan daerah dan utusan golongan. MPR adalah locus of sovereignty yang memegang kekuasaan dan penyelenggara negara tertinggi. Sebagai pemegang kekuasaan dan penyelenggara negara tertinggi, MPR dengan sendirinya menjadi “pemegang” kekuasaan eksekutif dan legislatif. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan bagian dari MPR yang berfungsi Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia, 2011.
sebagai lembaga legislatif dan Presiden yang dipilih dan diangkat oleh MPR adalah mandataris MPR yang melaksanakan fungsi eksekutif. Tugas pokok MPR adalah menetapkan UndangUndang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta ketetapan lainnya yang dipandang perlu. Di samping itu, tugas pokok lainnya adalah mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, Presiden bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden, tidak “neben”akan tetapi “untergeordnet”kepada Majelis. Presiden tidak mempunyai politik sendiri,tetapi mesti melaksanakan haluan negara yang ditetapkan dan diperintahkan oleh MPR. Dari apa yang kami kemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa sistem yang dianut oleh demokrasi Pancasila adalah uni-kameral bukan bikameral atau tri-kameral. Suatu sistem demokrasi yang tidak menganut ajaran Trias Politika yang mendalilkan pemisahan kekuasaan: antara kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Pada sidang-sidang BPUPKI, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno, dan Bung Hatta mengajukan pertimbanganpertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung keyakinan mereka bahwa Trias Politika ala Montesqieue bukanlah sistem
pembagian kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat. Selanjutnyapara penyusun UUD 1945 juga menyatakan bahwa Trias Politika sudah kedaluwarsa, sebab itu kita menyusun suatu sistem ketatanegaraan sendiri. Demokrasi Pancasila merupakan sistem demokrasi yang berdasarkan pendelegasian kekuasaan (delegation of power) dari MPR sebagai pemegang kekuasaan negara tertinggi kepada DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dan Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.
Sistem ini dipilih oleh pendiri negara karena dipandang lebih sesuai dengan prinsip dasar demokrasi Pancasila sebagaimana diuraikan di atas. Kedua, penyelenggaraan Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara berkala dan teratur dengan peserta partai-partai politik untuk memilih para wakil rakyat di pusat dan daerah, yaitu sebagai anggota Dewan Perwakilan Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA, Sistem Pemerintahan Negara Kekeluargaan, Pidato Dies Natalis XVIII Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta : Universitas Wangsa Manggala, 2004. R.M. A.B. Kusuma, Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” versus Sistem Presidensiel “Orde Reformasi”, Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pemilihan Umum tersebut diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil. Selanjutnya, DPR dan DPRD yang akan memilih pemimpin lembaga negara, baik di pusat maupun di daerah, melalui musyawarah untuk mufakat. Jadi dalam prinsip kedua ini, pemilihan pemimpin lembaga ne- gara di pusat dan di daerah) diselenggarakan secara tidak langsung sehingga tercapai hasil pemilihan pemimpin lembaga negara melalui musyawarah untuk mufakat. Konsepsi mufakat itu sendiri, sesuai dengan pandangan tentang hakikat manusia Pancasila, sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu. Konsepsi mufakat bersumber dari persamaan jiwa dan semangat dalam mengemban hasil karya bersama, baik keberhasilan maupun kegagalannya. Dengan kata lain, konsepsi mufakat dapat diartikan sebagai hasil daya konsensus, sehingga disebut juga sebagai hikmat kebijaksanaan38
Melalui proses pemilihan seperti ini maka perwujudan kedaulatan dari seluruh rakyat yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia, 2011. menjadi sebuah keniscayaan, dan bukan sekadar kedaulatan orang-perorang atau golongan. Adapun suara terbanyak seperti yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 kaitannya dengan mufakat (sebagaimana telah diuraian diatas), merupakan model pemungutan suara dari pelaksanaan konsepsi mufakat. Suara terbanyak dalam logika matematika berarti kemenangan mutlak, yaitu bahwa kemenangan suatu pemilihan minimal harus mendapatkan suara 50 persen plus satu sampai dengan hasil suara 100 persen. Dalam konteks politik, menurut Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie, model tersebut disebut sebagai dukungan mayoritas mutlak
Sistem demokrasi seperti inilah yang sejatinya mencerminkan demokrasi khas Indonesia yang dimaksudkan Bung Karno, Bung Hatta, dan Penjelasan Pembukaan UUD 1945. Dengan pengertian tersebut maka mufakat mengandung makna adanya ruang kesepakatan, walaupun hasilnya bisa “lonjong” atau pun “bulat”. Suara terbanyak 50 persen plus satu adalah mufakat lonjong dan 100 persen adalah mufakat bulat. Dengan model mekanisme suara terbanyak tersebut para pendiri negara perumus UUD 1945 menciptakan “ruang publik” untuk mencapai Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi dan KonstitusionalismeIndonesia, Jakarta : PSHTN FHUI, 2004.mufakat tanpa terjadinya kebuntuan politik. Selain untuk mendapatkan pemimpin negara yang didukung oleh mayoritas rakyat yang penting artinya bagi efektivitas kepemimpinannya. Dengan demikian, model mekanisme suara terbanyak sesuai dengan konsepsi mufakat. Dari pengertian dan prinsip dasar tersebut, kita dapat melihat perbedaan-perbedaan pokok antara demokrasi Indonesia yang berdasarkan Pancasila dengan sistem demokrasi lainnya. Karena perbedaan sistem tadi, para pendiri negara menyebutnya sebagai “sistem sendiri”. Menurut Prof. Sofian Effendi, para ahli politik Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan sistem khas Indonesia tersebut. Prof. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi Presidensial. Prof. Padmo Wahyono menamakannya Sistem Mandataris dan Prof. Azhary menamakannya Sistem MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang mengandung ciri sistem Presidensial dan parlementer disebut sistem semi-Presidensial.40 Menurut Arend Lijphart, sistem tersebut dinamakan sebagai
Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA, “Sistem Pemerintahan Negara Kekeluargaan”, Pidato Dies Natalis XVIII Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta: Universitas Wangsa Manggala, 2004. sistem demokrasi konsensus (concensus democracy). Sistem demokrasi yang digagas oleh para pendiri negara ini oleh Bung Karno disebut sebagai sistem “Demokrasi Terpimpin”. Artinya, sistem demokrasi yang dituntun oleh Pancasila sebagai “light star”.Dengan demikian, segala sesuatu yang akan menjadi keputusan pemegang kedaulatan rakyat (MPR) tidak boleh menyimpang dari Pancasila sebagai “light star”-nya. Dalam hubungan ini Pak Harto dalam pidato kenegaraannya pada tahun 1979 menggunakan terminologi “Demokrasi Pancasila” sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XXXVII/1968, artinya sistem tatanan kehidupan negara dan masyarakat berdasarkan kedaulatan rakyat yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. Selanjutnya pokok-pokok pikiran sistem demokrasi Pancasila menurut Undang-Undang Dasar 1945, tercantum dalam penjelasan Pembukaan sebagai berikut ini. Pertama, Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum(Rechtsstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat), tidak berdasar atas kekuasaan belaka(Machsstaat). Kedua, pemerintah berdasar atas sistem konstitusi(hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak berbatas).
Ketiga, kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR(Die gesamte Staatgewalt liegt allein bei der Majelis). Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungs organ des Willens des Staatsvilkes).
Majelis ini menetapkan UUD dan menetapkan GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN). Majelis inilah yang memilih dan mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). MPR inilah yang memegang kekuasaan yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garisgaris besar yang telah ditetapkan oleh MPR. Presiden yang diangkat oleh MPR, bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Ia ialah “mandataris” dari MPR. Ia berwajib menjalankan putusan-putusan MPR. Presiden tidak “neben” tetapi “untergeordnet” kepada MPR.Pemilihan dan pengangkatan Presiden oleh MPR dan tidak dilakukan secara langsung oleh rakyat melaluipemilihan umum adalah sesuai dengan Demokrasi Pancasila.
Pemilihan lansung memang melibatkan seluruh rakyat yang sesuai dengan salah satu ciri pokok demokrasi Pancasila. Namun, hal ini tidak dilaksanakan melalui proses musyawarah untuk mufakat yang menjadi ciri pokok lainnya dari demokrasi Pancasila. Kendatipun, misalnya, pemilihan langsung Presiden, calon Presiden yang memperoleh dukungan mayoritas mutlak, (lebih dari 50 persen ditambah 1) yang berarti telah memenuhi persyaratan mufakat, hal tersebut tetap belum sesuai dengan demokrasi Pancasila. Sebab, pemilihan tersebut tidak melalui proses musyawarah. Selain dari pada itu, Presiden yang dipilih secara langsung oleh rakyat, tidak dapat menjadi mandataris MPR, sehingga Presiden tidak “untergeordnetsesuai dengan demokrasi Pancasila. Karena itulah, Presiden harus dipilih oleh MPR. Keempat,Presiden ialah penyelenggara peme rintah negara yang tertinggi di bawah MPR. Di bawah MPR, Presiden ialah penyelenggara pemerintah tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab ada di tangan Presiden (concentration  of power and responsibility upon the President). Kelima,Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Di samping Presiden adalah DPR.
Presiden harus mendapat persetujuan DPR untuk membuat undang-undang (Gezetsgebung) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbegroting). Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan DPR, dan Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Keenam, menteri adalah pembantu Presiden. Menteri negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri ini tidak bertanggung jawab kepada DPR. Kedudukannya tidak bergantung kepada Dewan, tetapi bergantung kepada Presiden. Mereka adalah pembantu Presiden. Ketujuh, kekuasaan kepala negara tidak tak berbatas. Meskipun kepala negara tidak bertanggung jawab kepada Presiden, ia bukan“diktator”, artinya kekuasaan tidak tak berbatas. Diatas telah ditegaskan bahwa ia bertanggung jawabkepada MPR. Kecuali itu ia harus memperhatikansungguh-sungguh suara DPR. Kedelapan, kedudukan DPR adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden (berlainan dengan sistem parlementer). Selain itu,anggota DPR adalah juga anggota MPR. Karenaitu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakantindakan Presiden dan jika DPR menganggapbahwa Presiden melanggar UUD, Haluan Negaraatau Ketetapan MPR lainnya, Majelis dapatdiminta untuk mengadakan Sidang Istimewa gunameminta pertanggungjawaban Presiden.
Kesembilan, menteri-menteri bukan pegawai tinggi biasa.Meskipun kedudukan menteri negara bergantung pada Presiden, mereka bukan pegawai tinggi biasa. Sebab, menteri menterilah yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executive)dalam praktik. Dari uraian ciri-ciri pokok sebagaimana diuraikan di atas timbul pertanyaan apakah sistem pemerintahan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengandung unsur “checks and balances” yang menurut Sartori merupakan unsur yang sangat penting dalam suatu sistem demokrasi yang baik. Masalah “check and balances”dalam UUD 1945 sampai saat ini sering kali masih menjadi kontroversi dalam masyarakat kita. Hal ini disebabkan adanya pandangan bahwa UUD 1945 tidak mengandung ketentuan tentang ‘Check and balances”. Sebab, dalam UUD kekuasaan Presiden dianggap terlalu kuat (concentration of power and responsibilities upon the President). Namun AB Kusuma menyatakan bahwa “Check and balances” dalam UUD 1945 jelas ada.
Sartori dalam RM. A.B. Kusuma, Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem Presidensiel “Orde Reformasi”, Depok : BPFH UI, 2011
itu dapat dibaca di Risalah BPUPK dan PPKI yang kemudian dirumuskan dalam ciri-ciri pokok sistem ketatanegaraan sebagaimana diuraikan diatas. Agar lebih jelas lagi, masalah tersebut kami paparkan sebagai berikut ini.
(1) Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas.
Meskipun Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, namun ia bukan diktator. Presiden bertanggung jawab kepada MPR dan harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR. Selain dari pada itu, sebagian besar anggaran MPR adalah anggota DPR.
(2) Kedudukan DPR adalah kuat.
Kedudukan DPR adalah kuat, karena memiliki hakbudget, hak angket, dan hak interpelasi, di samping tidak bisa dibubarkan oleh Presiden.
(3) DPR dapat senantiasa mengawasi tindakantindakan Presiden dan jika Dewan menganggap Presiden melanggar GBHN atau ketetapan-ketetapan MPR, maka DPR dapat meminta Majelis untuk mengadakan Sidang Istimewa.
(4) Presiden harus bekerja sama dengan DPR dalam menetapkan Undang-undang dan APBN.
Demikianlah pokok-pokok pikiran dari demokrasi politik berdasarkan Pancasila yang selanjutnya telah dijadikan landasan guna menyusun kaidah-kaidah pokok pelaksanaan sistem demokrasi politik yang tertuang dalam batang tubuh UUD 1945 khususnya Bab I, Bab II, Bab III dan Bab X; Pasal 1, Pasal 2, Pasal 6, dan Pasal 28.
3.  Demokrasi Ekonomi
Mohammad Hatta (Bung Hatta) mengakui bahwa judul, pasal, dan ayat dalam UUD 1945 tentang ekonomi bersumber dari buah pikirannya sendiri yang beliau usulkan dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta menyatakan bahwa “… Buah pikiran yang tertanam di pasal 33 UUD 45 ini berasal dari saya sendiri yang saya majukan dahulu waktu Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan kita sedang menyusun rancangan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia. Sebab itu terimalah pernyataan saya bahwa memang koperasilah yang dimaksud dengan usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan itu” (Bung Hatta, Jakarta 1975). Kalau kita simak kembali situasi perekonomian di masa penjajahan dahulu, maka akan jelas bagi kita bahwa perekonomian saat itu terdiri atas dua sistem, yaitu sistem perekonomian rakyat dan sistem perekonomian kapitalisme-kolonial. Namun, sistem kapitalisme-koloniallah yang menguasai perekonomian bangsa kita ketika itu, dengan pelaku utamanya perusahaan swasta asing dan timur asing. Kondisi perekonomian seperti itulah yang diwariskan oleh kaum penjajah kepada bangsa Indonesia.
Dalam kaitan ini, Bung Hatta berharap agar dalam alam kemerdekaan, sistem perekonomia yang demikian tadi, dapat ditransformasikan menjadi sistem perekonomian Indonesia yang didasarkan atas nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk memahami pemikiran dan langkahlangkah Bung Hatta, sebagai salah seorang tokoh pendiri negara, kita harus menyadari bahw beliau adalah negarawan yang turut membidani lahirnya Indonesia Merdeka dan beliau berjuang dengan mengerahkan segala kemampuan untuk kepentingan kemerdekaan, kesejahteraan, serta pembangunan bangsanya. Dengan memiliki persepsi tentang Bung Hatta yang demikian ini, kita akan dapat lebih mudah memahami konteks pemikiran dan langkah-langkahnya dibidang ekonomi. Kita akan dapat melihat bahwa berbagai gagasan dan langkah Bung Hatta dalam bidang ekonomi bukanlah suatu aktivitas yang berdiri sendiri, tetapi erat kaitannya dengan cita-cita beliau tentang Indonesia Merdeka dan pembangunan bangsa secara menyeluruh. Dengan kata lain, keprihatinan dan gagasan-gagasan Bung Hatta atas kondisi ekonomi masyaraka Indonesia saat itu, haruslah selalu kita kaitka secara menyeluruh dengan masalah yang dihadapi bangsa Indonesia, yaitu belum terwujudnya kesejahteraan sosial. Bung Hatta melihat dengan sangat jelas segi positif dan negatif sistem perekonomian kapitalisme. Beliau juga sangat mendalam baik-buruknya sistem perekonomian dengan perencanaan terpusat oleh pemerintah yang berkuasa (sistem perkonomian sosialisme). Bung Hatta berpandangan bahwa kedua sistem perekonomian tadi tidaklah cocok bagi bangsa Indonesia guna mewujudkan cita-cita memajukan kesejahteraan umum. Cita-cita tersebut berangkat dari pandangan Pancasila tentang manusia yang dilandasi paham kekeluargaan. Berdasarkan pandangan tentang hakikat manusia Indonesia seperti tersebut di atas serta untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan, maka interainterelasi bangsa Indonesia di bidang ekonomi disusun dalam suatu sistem perekonomian sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, yang oleh Bung Hatta disebut sebagai sistem ekonomi koperasi. Bung Hatta menghendaki sistem ekonomi koperasi, karena menurut beliau Koperasi Indonesia yang merupakan jiwa dan semangat kekeluargaan (gotong royong) harus menjadi acuan aturan main—baik secara internal maupun dalam interaksi dan interelasi—di antara semua pelaku ekonomi nasional, yaitu koperasi, BUMN, dan swasta. Dalam kaitan ini, Bung Hatta menyebut badan usaha milik negara dan swasta harus berjiwa koperasi. Untuk selanjutnya, sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. II Tahun 1998 tentang GBHN, istilah Sistem Ekonomi Indonesia—menurut kami—lebih tepat menggunakan istilah Sistem Ekonomi Pancasila (SEP).
Penyebutan istilah “Koperasi Indonesia” di dalam buku ini bukanlah koperasi dalam pengertian sistem ekonomi mikro sebagaimana dalam konsep ekonomi liberal, namun lebih dipahami sebagai konsep ekonomi makro berdasarkan dan berorientasi pada konstitusi nasional, khususnya Pasal 33 UUD 1945. Asas kekeluargaan, sebagai paham yang lahir dari sistem manusia Pancasila yaitu makhluk individu sekaligus makhluk sosial, merupakan prinsip dasar manusia Indonesia dalam melakukan kegiatan ekonomi berupa kesadaran untuk secara kolektif bekerja dan bertanggung jawab bersama untuk mencapai suatu tujuan dengan tidak mendahulukan kepentingan diri sendiri melainkan mengutamakan kepentingan bersama. Dalam kaitan ini untuk lebih mendinamisasikan asas kekeluargaan, Bung Karno—sebagai penggagas Pancasila—menggunakan istilah gotong royong, yang merupakan core valuedari Pancasila. Dalam konsep pembangunan perekonomian nasional yang berdasarkan atas asas kekeluargaan tersebut maka tujuan utamanya haruslah terwujudnya kesejahteraaan sosial, yaitu kesejahteraan bersama seluruh rakyat bukan kesejahteraan orang perorang. Tujuan ini jelas tercantum dalam Pembukaan dan Penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Untuk itu maka seluruh rakyat harus aktif berpartisipasi secara total dalam proses produksi dan dalam menikmati hasil-hasilnya. Inilah wujud dari demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), yang merupakan dasar SEP. Selanjutnya agar proses demokrasi ekonomi tersebut dapat terselenggara dengan baik maka pengaturan ekonomi tidak bisa diserahkan pada mekanisme pasar semata (seperti dalam sistem ekonomi kapitalisme); dan juga tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pemerintah (seperti dalam sistem ekonomi sosialisme). Kedua pendekatan pengaturan ekonomi tersebut di atas terbukti tidak mampu menciptakan kebebasan dan sekaligus kesetaraan. Oleh karena itulah, Bung Hatta dalam pidatonya yang sangat bersejarah pada tahun 1932 telah menawarkan suatu gagasan fundamental tentang pengaturan ekonomi yang genius, visioner dan khas Indonesia. Dalam pidatonya yang berjudul “Ke arah Indonesia Merdeka”, beliau menegaskan: ”Pendeknya cara mengatur pemerintahan negeri dan cara menyusun perekonomian semuanya harus diputuskan rakyat dengan cara ‘mufakat’…. Inilah arti kedaulatan rakyat.”(Hatta, “Ke Arah Indonesia Merdeka”, 1932). Selanjutnya dalam salah satu pidatonya, Bung Hatta kembali dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa: “Kita harus melakukan apa yang disebut sebagai ‘ekonomi terpimpin’. Pemerintah harus banyak campur tangan dalam pelaksanaannya, dengan memberikan petunjuk dan menetapkan peraturan, tetapi bebas dari perbuatan birokrasi” (Hatta, 1957).
Dari pandangan yang sangat mendasar dari Bung Hatta tersebut ternyata belum pernah ada pemikir-pemikir ekonomi Indonesia yang selanjutnya merumuskannya sebagai prinsip dasar pertama SEP. Sedangkan menurut pandangan kami prinsip dasar pertama SEP adalah gagasan Bung Hatta tersebut yaitu adanya pengaturan negara di bidang ekonomi yang harus diputuskan oleh seluruh rakyat secara mufakat. Inilah arti sesungguhnya dari kedaulatan rakyat dibidang ekonomi, kata Bung Hatta. Sebagai representasi seluruh rakyat sebagaimana yang diuraikan di atas—sesuai ayat 2 Pasal 1 UUD 1945 versi 18 Agustus 1945—adalah MPR. Oleh karena itu, menurut Prof. Hazairin, MPR-lah yang berkewajiban menyusun struktur ekonomi itu atau pun menetapkan garis-garis besar sebagai petunjuk mengenai penyusunan itu dan selanjutnya mendelegasikan tugas pengaturan dan pelaksanaannya kepada Presiden dan DPR. Prinsip dasar inilah yang membedakan SEP dengan sistem ekonomi kapitalisme dan sistem ekonomi sosialisme. Para pendiri negara tampaknya telah menyadari benar bahwa apabila menggunakan mekanisme pasar bebas untuk mengatur kegiatan ekonomi maka terjadi kegagalan pasar yang menyebabkan terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan dalam masyarakat.




[1]   Komaruddin hidayat,azyumardi azra,pancasila,demokrasi,HAM,dan masyrakat madani,(jakarta: ICCE UIN  syarif hidayatullaj dan prenada media group,2003) hlm 66
[2]  Budiardjo,miram.dasar-dasar ilmu politik,(jakarta:PT gramedia pustaka utama,2007) hlm.105
[3]
[4]  Budiardjo,miram.dasar-dasar ilmu politik,(jakarta:PT gramedia pustaka utama,2007)


No comments:

Post a Comment