A. Pengertian Demokrasi
Secara
etimologis, kata demokrasi (dari bahasa yunani) adalah bentukan dari dua kata demos (rakyat) dan cratein atau cratos
(kekuasaan dan kedaulatan). Perpaduan kata demos
dan cratos membentuk kata
demokrasi yang memiliki pengertian umum sebagai sebuah bentuk pemerintahan
rakyat (goverment of the people)
dimana kekuasaan tertinggi terletak di tangan rakyat dan dilakukan secara
langsung oleh rakyat atau melalui para wakil mereka melalui mekanisme pemilihan
yang berlangsung secara bebas. Secara substansial, demokrasi adalah seperti
yang pernah dikatakan oleh abraham lincoln suatu pemerintahan dari,oleh dan
untuk rakyat.
Demokrasi menjadi sebua kata yang
paling diminati oleh siapapun di dunia kekuasaan. Bahkan kata ini sering
disalahartikan dan disalahgunakan oleh para pemimpin pemerintahan paling
otoriter sekalipun. Mereka acap kali menggunakan slogan-slogan demokrasi demi
memperoleh dukungan politik dari masyarakatnya. Namun demikian, demokrasi juga
tercatat telah mewarnai perubahan sejarah perjuangan kebebasan umat manusia :
dari masa negarawan pericles di kota atena hingga presiden vaclav have di era
modern cekoslovakia : dari deklarasi kemerdekan amerika serikat oleh thomas
jefferson di tahun 1776 hingga pidato terakhir pemimpin rusia andrei sakharov
pada 1989.
Dalam sejarahnya, demokrasi sering
bersanding dengan kebebasan (freedom)
namun demikian, demokrasi dan kebebasan tidaklah identik : demokrasi merupakan
sebuah kumpulan ide dan prinsip tentang kebebasan, bahkan juga mengandung
sejumlah praktik dan prosedur menggapai kebebasan, bahkan juga melalui
perjalanan sejarah yang panjang dan berliku. Secara singkat, demokrasi
merupakan bentuk institusionalisasi dari kebebasan (institutionalization of freedom). Bersandar pada argumen ini, untuk
melihat apakah suatu pemerintahan dapat dikatakan demokratis atau tidak
terletak pada sejauh mana pemerintahan tersebut berjalan pada prinsip
konstitusi,hak asasi manusia,dan persamaan warga negara di hadapan hukum.
Sejalan dengan perkembangannya,
demokrasi mengalami pemaknaan yang berkembang di kalangan para ahli tentang
demokrasi. Menurut joseph a. Schmiter, demokrasi adalah suatu perencanaan
institusional untuk mencapai keputusan
politik di mana setiap individu memperoleh kekuasaan memutuskan cara
perjuangan kompetitif atas suara rakyat. Adaupun menurut sidney hook, demokrasi
adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusannya yang penting secara
langsung atau tidak langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang
diberikan secara bebas dari warga negara dewasa.
Dalam pengertian yang lebih luas,
phillip c. Schmitter mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan
di mana pemerintah dimintai tanggung jawa atas tindakan-tindakanya diwilayah
publik oleh warga negara, yang bertindak secara tidak langsung melalui
kompetisi dan kerja sama dengan wakil-wakil mereka yang telah terpilih. Hampir senada dengan pandangan ini
adalah pengertian demokrasi yang digambarkan oleh henry b mayo : demokrasi
sebagai sistem politik merupakan suatu sistem yang menunjukan bahwa kebijakan
umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil rakyat yang diawasi
secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkata yang didasarkan
atas prinsip-prinsip politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminya
kebebasan politik.
Dari beberapa pendapat ahli tentang
demokrasi tersebut, dapat disimpulkan bahwa hakikatnya demokrasi adalah sebuah
proses negara yang bertumpu pada peran utama rakyat sebagai pemegang tertinggi
kedaulatan. Dengan kata lain, pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan yang
meliputi tiga hal, sebagai berikut :
1.
Pemerintah dari rakyat (government for
the people) mengandung pengertian bahwa sesuatu pemerintahan yang sah
adalah suatu pemerintahan yang mendapat pengakuan dan dukungan mayoritas rakyat
melalui mekanisme demokrasi, pemilihan umum. Pengakuan dan dukungan rakyat bagi
suatu pemerintahan sangatlah penting, karena dengan legitimasi politik tersebut
pemerintah dapat menjalankan roda birokrasi dan program-programnya sebagai
wujud dari amanat yang diberikan oleh rakyat kepadanya.
2.
Pemerintahan oleh rakyat (governmet by
the people) memiliki pengertian bahwa suatu pemerintahan menjalankan
kekuasaannya atas nama rakyat, bukan atas dorongan pribadi elite negara atau
elite birokrasi. Selain pengertian ini, unsur kedua ini mengandung pengertian
bahwa dalam menjalankan kekuasaanya, pemerintah berada dalam pengawasan rakyat
(sosial control). Pengawasan dapat dilakukan secara langsung oleh rakyat
maupun tidak langsung melalui para wakilnya di parlemen. Dengan adanya
pengawasan para wakil rakyat di parlemen ambisi otoritarianisme dari para
penyelenggaran negara dapat dihindari.
3.
Pemerintahan untuk rakyat (goverment for
the people) mengandung pengertian bahwa kekuasaan yang diberikan oleh
rakyat kepada pemerintah harus dijalankan untuk kepentingan rakyat. Kepentingan
rakyat umum harus dijalankan landasan utama kebijakan sebuah pemerintah yang
demokratis[1]
B. Konsep Mengenai Demokrasi
Kita
mengenal bermacam-macam istilah demokrasi, ada yang dinamakan demokrasi
kostitusional, demokrasi rakyat,demokrasi soviet,domokrasi terpimpin, demokrasi
nasional, dan sebagainya. Semua konsep ini memakai istilah demokrasi yang
menurut asa kata berarti rakyat berkuasa atat government by the people (kata yunani demos berarti rakyat,
kratos/kratein berarti kekuasaan/berkuasa).
Sesudah
perang dunia II kita melihat gejala bahwa secara formal demokrasi merupakan
dasar dari kebanyakan negara didunia. Menurut suatu penelitian yang
diselengarakan oleh UNESCO dalam tahun 1949 maka;” mungkin untuk pertama kali
dalam sejarah demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar
untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh pendukung-pendukung
yang berpengaruh.
Akan
tetapi unesco juga menarik kesimpulan bahwa ide demokrasi dianggap ambigous
atau mempunyai berbagai pengertian, sekurang-kurangnya ada ambiguity atau ketaktentuan mengenai, “ lembaga-lembaga atau
cara-cara yang dipakai untuk melaksanakan ide, atau mengenai keadaan kultural
serta historis yang memengaruhi istilah,ide,dan praktik demokrasi.
Tetapi diantara sekian banyak aliran
pikiran yang dinamakan demokrasi ada dua kelompok aliran yang paling penting,
yaitu demokrasi konstitusional dan satu kelompok aliran yang menamakan dirinya
demokrasi, tetapi yang pada hakikatnya mendasarkan dirinya atas komunisme.
Kedua kelompok aliran demokrasi mula-mula berasal dari eropa, tetapi sesudah
perang dunia ke-2 nampaknya juga didukung oleh beberapa negara baru di asia.
India, pakistan, filipina, dan indonesia mencita-citakan demokrasi
konstitusional,sekalipun terdapat bermacam-macam bentuk pemerintahan maupun
gaya hidup dalam negara-negara tersebut.
Dilain pihak ada negara-negara baru
di asia yang mendasarkan diria atasa asas-asas komunisme, yaitu china,korea
utara, dan sebagainya. Demokrasi yang dianut di indonesia yaitu demokrasi
berdasarkan pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat
dan ciri-cirinya terdapat pelbagai tafsiran serta pandangan tetapi yang tidak
dapat disangkal ialah bahwa beberapa nilai pokok dari demokrasi konstitusional
cukup jelas tersirat di dalam undang-undang dasar 1945 yang belum diamandemen.
Selait itu undang-undang dasar kita menyebut secara eksplisit dua prinsip yang
menjiwai naskah itu, dan yang dicantumkan dalam penjelasan undang-undang dasar
1945 mengenai sistem pemerintahan negara yaitu:
1.
Indonesia ialah negara yang berdasarkan ata hukum(rechtsstaat). Negara indonesia berdasarkan atas hukum, tidak
berdasarkan kekuasaan belaka(machtaat)
2.
Sistem konstitusional. Pemerintah berdasarkan atas sistem konstitusi (hukum
dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas)
Berdasarkan dua istilah rechtsstaat dan sistem konstitusi, maka
jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar undang-undang dasar 1945 yang belum
diamandemen ialah domokrasi konstitusional. Disamping itu, corak khas demokrasi
indonesia, yaitu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan, dimuat dalam pembukaan undang- undang dasar.
Sesudah tertumpasnya G 30/S PKI pada
tahun 1965 sudah terang bagwa yang kita cita-citakan itu adalah demokrasi
konstitusional, tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam demokrasi terpimpin
kita sedikit banyak telah terpengaruh oleh beberapa konsep komunis berkat
kelihaian PKI untuk menyusupkan konsep-konsep dari alam pikiran komunisme ke
dalam kehidupan politik kita dalam masa pra G 30 S/PKI. Maka dari itu perlu
kiranya kita menjernihkan pikiran kita sendiri dan meneropong dua aliran
pikiran utama yang sangat berbeda, bahkan sering bertentangan serta
berkonfrontasi satu sama lainya, yaitu demokrasi konstitusional dan demokrasi
yang berdasarkan marxisme-leninisme.
Perbedaan fundamental ialah bahwa demokrasi
konstitusional mencita-citakkan pemeritah yang terbata kekuasaannya, suatu negara hukum (rechsstaat) yang tunduk kepada rule
of law. Sebaliknya, demokrasi yang mendasarkan dirinya atas komunisme
mencita-citakan pemerintah yang tidak boleh dibatasi kekuasaan (machsstaaat),
dan sifat totaliter.[2]
C. Sejarah Perkembangan Demokrasi
Pada
permulanya pertumbuhannya demokrasi telah mencakup beberapa asa dan nilai, yang
diwariskan kepadanya dar masa yang lampau, yaitu gagasan mengenai demokrasi dan
kebudayaan yunaini kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan
oleh aliran reformasi serta perang-perang agama yang menyusulnya. Sistem
demokrasi yang terdapat di negara-kota (city-state)
kuno (abad ke-6 sampai abad ke-3 S.M) merupakan demokrasi langsung (direct democracy), yaitu suatu bentuk
pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan
secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur
mayoritas. Sifat langsung dari demokrasi yunani dapat diselenggarakan secara
efektif karena berlangsung dalam kondisi yang sederhana, wilayah nya terbatas
(negara terdiri dari kota dan daerah sekitarnya) serta jumlah penduduk sedikit
(300.000 penduduknya dalam satu negara-kota). Lagi pula, ketentuan-ketentuan
demokrasi hanya berlaku untuk warga negara yang resmi, yang hanya merupakan
bagian kecil saja dari penduduk.
Untuk mayoritas yang terdiri atas budak belian dan
pedagan asing demokrasi tidak berlaku. Dala negara modern demokrasi tidak lagi
bersifat langsung, tetapu merupakn demokrasi berdasarkan perwakilan (representative democracy). Gagasan
demokrasi yunani boleh dikatakan hilang dari dunia barat waktu bangsa romawi,
yang sedikit banyak masih kenal kebudayaan yunani, dikalahkan oleh suku bangsa
eropa barat dan benua eropa memasuki abad pertengahan (600-1400). Masyarakat
abad pertengahan dicirikan oleh struktur sosial yang feodal (hubungan antara vassal dan lord) yang kehidupan sosialnya dikuasai oleh paus dan
pejabat-pejabat agama lainya; yang kehidupan politiknya ditandai perebutan
kekuasaan antara para bangsawan satu sama lain.
Dilihat dari sudut perkembangan
demokrasi abad pertengahan menghasilkan suatu dokumen yang penting, yaitu magna charta (piagam besar). Magna charta merupakan semi kontrak
antara beberapa bangsawan dan raja jhon dari inggris di mana untuk pertama kali
seorang raja yang berkuasa mengikatkan diri untuk mengakui dan menjamin
beberapa hak dan privileges dari
bawahanya sebagai imbalan untuk penyerahan dana bagi keperluan perang dan
sebagainya. Biarpun piagam ini lahir dalam suasana feodal dan tidak berlaku
untuk rakyat jelata, namun dianggap demokrasi.
Sebelum abad pertengahan berakhir
dan pada permulaan abad ke-16 di eropa barat muncul negara-negara nasional(national state) dalam bentuk yang
modern. Eropa barat mengalami beberapa perubahan sosial dan kultural yang
mempersiapkan jalan untuk memasuki zaman yang lebih modern di mana akal dapat
memerdekakan diri dari pembatasan-pembatasanya. Dua kejadian ini ialah renaissance reformasi (1350-1600) yang
terutama berpengaruh di eropa selatan seperti italia, dan reformasi (1500-1650)
yang mendapat banyak pengikutnya di eropa utara, seperti di jerman dan swiss.
Renaissance
adalah aliran yang menghidupkan kembali minat kepada kesusastraan dan
kebudayaan yunani kuno yang selama abad pertengahan telah disisihkan. Aliran
ini membelokkan perhatian yan tadinya semata-mata diarahkan kepada
tulisan-tulisan keagamaan ke arah soal-soal keduniawian dan mengakibatkan
timbulnya pandangan-pandangan baru. Reformasi serta perang-perang agama yang
menyusul akhirnya baik di bidang spritual dalam bentuk dogma, maupun di bidang
sosial dan politik. Hasil pergumulan ini ialah timbulnya gagasan mengenai
perlunya ada kebebasan beragama serta ada garis pemisah yang tegas antara
soal-soal agama dan soal-soal keduniawian, khususnya di bidang pemerintah. Ini
dinamakan pemisah anatara gereja dan negara.
Monarki-monarki absolut ini telah
muncul masa1500-1700, sesuai dan berakhirnya abad pertengahan. Raja-raja
absolut menggangap dirinya berhak atas tahtanya berdasarkan konsep hak suci
raja (divine right of kings).
Raja-raja yang terkenal di spanyol ialah isabela dan ferdinand (1479-1516),
diperancis raja-raja bourbon dan sebagainya. Kecaman-kecaman yang dilontarkan
terhadap gagasan absolutisme mendapat dukungan kuat dari golongan menengah (middle class) yang mulai berpengaruh
berka kemajuan kedudukan ekonomi serta mutu pendidikannya.
Pendobrakan
terhadap kedudukan raja-raja absolutisme ini didasarkan atas suatu teori
rasionalistis yang umumnya dikenal sebagai sosial
contract (kontrak sosial). Salah satu asa dari gagasan kontrak sosial ialah
bahwa dunia dikuasai oleh hukum yang timbul dari alam (nature) yang mengandung prinsip-prinsip keadilan yang
universal;artinya berlaku untuk semua waktu serta semua manusia, apaka ia
raja,bangsawan,atau rakyat jelata. Hukum ini dinamakan hukum alam (nature law,ius naturale). Unsur
universalisme inilah beranggapan bahwa hubungan antara raja dan rakyat didasari
oleh sesuatu kontrak yang ketentuan-ketentuanya mengikat kedua belah pihak.
Kontrak sosial menentukan di satu pihak bahwa raja diberi kekuasaan oleh rakyat
untuk menyelenggarkan ketertiban dan menciptakan suasana di mana rakyat dapat
menikmati hak-hak alamnya (natural rights)
dengan aman. Di pihak lain rakyat akan menaati pemerintahan raja asal hak-hak
alam itu terjamin.
Pada hakikatnya teori-teori kontrak
sosial merupakan usaha untuk mendobrak dasar daripemerintahan absolut dan
menetapkan hak-hak poltik rakyat. Filsuf-filsuf yang mencetuskan gagasan ini
antara lain jhon locke dari inggris (1632-1704) dan montesquieu dari perancis (1689-1755).
Menurut jhon locke hak-hak politik mencakup hak atas hidup,hak atas
kebebasan,dan hak untuk mempunyai milik (life,liberty
and property). Monstequieu mencoba menyusun suatu sistem yang dapat
menjamin hak-hak politik itu, yang kemudian dikenal dengan istilah trias
politica. Ide-ide bahwa manusia mempunyai hak-hak politik menimbulkan revolusi
perancis pada akhir abad ke18, serta revolusi amerika melawan inggris.
Sebagai akibat dari pergolakan
tersebut, maka pada akhir abad ke-19 gagasan mengenai demokrasi mendapat wujud
yang kongkret sebagai program dan sistem politik. Demokrasi pada tahap ini
semata-mata bersifat politis dan mendasarkan dirinya atas asas-asas kemerdekaan
individu,kesamaan hak (equal rights),
serta hak pilih untuk semua warga negara (universal
suffrage).[3]
D. Perkembangan Demokrasi Di Indonesia
Perkembangan
demokrasi di indonesia telah mengalami pasang surut. Selama 25 tahun berdirinya republik indonesia ternyata masalah pokok yang
kita hadapi ialah bagaimana, dalam masyarakat yang beraneka ragam pola
budayanya, mempertinggi tingkat kehidupan ekonomi di samping membina suatu
kehidupan sosial dan politik yang demokratis. Pada pokoknya masalah ini
berkisar pada penyusunan suatu sistem politik di mana kepemimpinan cukup kuat
untuk melaksanakan pembangunan ekonomi serta nasional building, dengan
partisipasi rakyat seraya menghindari timbulnya diktaktor, apakah detektor ini
bersifat perorangan, apa arti ataupun militer. Dipandang dari sudut perkembangan
demokrasi sejarah indonesia dapat dibagi dalam empat masa, yaitu:
- Masa republik indonesia I
(1945-1959), yaitu masa demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan
parlemen serta partai-partai dan yang karena itu dapat dinamakan demokrasi
parlementer.
- Masa republik indonesia II
(1959-1965), yaitu masa demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah
menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan
landasannya dan menunjukkan berbagai aspek demokrasi rakyat.
- Masa republik indonesia III
(1965-1998), yaitu masa demokrasi pancasila yang merupakan demokrasi
konstitusional yang menonjolkan sistem presidensial.
- Masa republik indonesia IV
(1998- sekarang), itu masa reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi
di indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi
pada masa republik indonesia III
1. Masa republik indonesia I (1945-1959) : masa demokrasi konstitusional
Sistem parlementer yang mulai berlaku
sebulan sesudah kemerdekaan diproklamirkan kemudian diperkuat dalam
undang-undang dasar 1945 dan 1950, ternyata kurang cocok untuk indonesia
meskipun dapat berjalan secara memuaskan dengan berbagai negara asia lain.
Persatuan yang dapat digalang untuk selalu menghadapi musuh bersama menjadi
kendor dan tidak dapat dibina menjadi kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan
tercapai. Karena lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi
peluang untuk dominasi partai partai politik dan dewan perwakilan rakyat.
Undang-undang dasar 1950 menetapkan berlakunya
sistem parlementer dimana badan eksekutif terdiri atas presiden sebagai kepala
negara konstitusional dan menteri-menterinya mempunyai tanggung jawab politik.
Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi
yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil.
Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai helm polisi tidak segan-segan
untuk menarik dukungannya sewaktu-waktu, kabinet sering jatuh karena keretakan
dalam koalisi sendiri. Dengan demikian ditimbulkan kesan bahwa partai-partai
dalam koalisi kurang dewasa dalam menghadapi tanggung jawab mengenai
permasalahan pemerintahan. Dilain pihak, partai-partai dalam barisan oposisi
tidak mampu berperan sebagai oposisi yang konstruktif yang menyusun
program-program alternatif, tetapi hanya menonjolkan segi-segi negatif dari
tugas oposisi.
umumnya kabinet dalam masa pra pemilihan umum
yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat bertahan lebih lama dari rata-rata 8
bulan, dan hal ini menghambat perkembangan ekonomi dan politik oleh karena
pemerintah tidak dapat kesempatan untuk melaksanakan programnya. Pemilihan umum
tahun 1955 tidak membawa stabilitas yang diharapkan,. Bahkan tidak dapat
menghindari perpecahan yang paling gawat antara pemerintah pusat dan beberapa
daerah.
Ada beberapa kekuatan sosial dan politik
yang tidak memperoleh saluran dan tempat realistis dalam konstelasi politik,
padahal merupakan kekuatan yang paling penting, dia itu seorang presiden yang
tak mau bertindak sebagai rubberstamp ( presiden yang membubuhi capnya belaka)
dan suatu tentara yang karena lahir dalam revolusi merasa bertanggung jawab
untuk turut menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada dihadapi oleh masyarakat
indonesia pada umumnya.
Faktor-faktor semacam ini, ditambah dengan
tidak adanya anggota-anggota partai-partai yang tergabung dalam konstituante
untuk mencapai konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru,
mendorong insinyur soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan dekrit presiden
5 juli yang menentukan berlakunya kembali undang-undang dasar 1945. Dengan
demikian masa demokrasi berdasarkan sistem parlementer berakhir.
2. Masa Republik Indonesia II (1959-1965) : Masa Demokrasi Terpimpin
Ciri-ciri periode ini ialah dominasi dari
presiden, terbatasnya peranan partai politik, berkembangnya pengaruh komunis
dan meluasnya peranan abri sebagai unsur sosial politik.
dekrit presiden 5 juli dapat dipandang sebagai
suatu usaha untuk mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui
pembentukan kepemimpinan yang kuat. Undang-undang dasar 1945 membuka kesempatan
bagi seorang presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya 5 tahun. Akan
tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat ir soekarno sebagai presiden
seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu 5 tahun ini ( undang-undang
dasar memungkinkan seorang presiden untuk dipilih kembali) yang ditentukan oleh
undang-undang dasar. Selain itu, banyak tindakan yang menyimpang dari atau
menyeleweng terhadap ketentuan-ketentuan undang-undang dasar.
Misalnya dalam tahun 1960 ir soekarno
sebagai presiden membubarkan dewan perwakilan rakyat hasil pemilihan umum,
padahal dalam penjelasan undang-undang dasar 1945 secara eksplisit ditentukan
bahwa presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian. Dewan
perwakilan rakyat gotong royong yang mengganti dewan perwakilan rakyat pilihan
rakyat ditonjolkan peranannya sebagai pembantu pemerintah, sedangkan fungsi
kontrol ditiadakan. Bahkan pimpinan dewan perwakilan rakyat dijadikan menteri
dan dengan demikian ditekankan fungsi mereka sebagai pembantu presiden,
disamping fungsi sebagai wakil rakyat.
hal ini tercermin telah ditinggalnya doktrin
trias politika. Dalam rangka ini harus pulau dilihat beberapa ketentuan lain
yang memberi wewenang kepada presiden sebagai badan eksekutif untuk campur
tangan di bidang lain selain bidang eksekutif. Misalnya presiden diberi
wewenang untuk campur tangan di bidang yudikatif berdasarkan undang-undang No.
19/1964, dan di bidang legislatif berdasarkan peraturan presiden No. 14/1960
dalam hal anggota dewan perwakilan rakyat tidak mencapai mufakat.
selain itu terjadi penyelewengan di bidang
perundang-undangan di manapun dan tindakan pemerintah dilaksanakan melalui
penetapan presiden (penpres) yang memakai dekrit 5 juli sebagai sumber
hukum. Tambahan pula didirikan badan-badan ekstrakonstitusional seperti front
nasional yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan,
sesuai dengan taktik komunis internasional yang menggariskan pembentukan front
nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat. Partai
politik dan pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi ditutup, tidak
dibenarkan, dan dibreidel, sedangkan politik mercusuar di bidang hubungan luar
negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan keadaan ekonomi menjadi
bertambah suram. G 30 S/PKI dalam mengakhiri periode ini dan membuka peluang
untuk dimulainya masa demokrasi pancasila.
3. Masa Republik III (1965-1998) : Masa Demokrasi Pancasila
Landasan
formal dari periode ini adalah pancasila, undang-undang dasar 1945, serta
ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usah untuk meluruskan kembali penyelewengan
terhadap undang-undang dasar yang telah terjadi dalam masa demokrasi terpimpin,
telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MPRS No. III/1963 yang
menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir soekarno telah dibatalkan dan
jabatan presiden kembali menjdai jabatan elektif setiap lima tahun. Ketetapan
MPRS No. XIX/1966 telah menentukan ditinjaunya kembali produk-produk legislatif
dari masa demokrasi terpimpin dan atas dasar itu undang-undang baru (no.
14/1970) yang menetapkan kembali ke asas kebebasan badan-badan pengadilan.
Dewan perwakilan rakyat gotong royong diberi beberapa hak kontrol di samping
tetap mempunyai fungsi untuk membantu pemerintah.
Pemimpinya
tidak lagi mempunyai status menteri. Begitu pula tata tertib dewan perwakilan
rakyat gotong royong yang baru telah meniadakan pasal yang memberi wewenang
kepada presiden untuk memutuskan permasalahan yang tidak dapat mencapai mufakat antara anggota legislatif. Golongan
karya, dimana anggota ABRI memainkan peranan penting, diberi landasan
konstitusional yang lebih formal. Selain itu beberapa hak asasi diusahakan
supaya terselenggara lebih penuh dengan memberi kebebasan lebih luas kepada
pers untuk menyatakan pendapat dan partai-partai politik untuk bergerak dan
menyusun kekuatannya, terutama menjelang pemilihan umum 1971. Dengan demikian
diharapkan terbinanya partisipasi golongan-golongan dalam masyarakat di samping
diadakan pembangunan ekonomi secara teratur serta terencana.
Perkembangan
lebih lanjut pada masa republik III (yang juga disebut sebagai orde baru yang
menggantikan orde lama) menunjukkan peranan presiden yang semakin besar. Secara
lambat laun terciptanya pemusatan kekuasaan di tangan presiden karena presiden
soeharto telah menjelma sebagai tokoh yang paling dominan dalam sistem politik
indonesia, tidak saja karena jabatannya sebagai presiden dalam sistem
presidensial, tetapi juga karena pengaruhnya yang dominan dalam elit politik
indonesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan kemudian membubarkan
PKI dengan menggunakan surat perintah 11
maret (super semar) memberikan peluang yang besar kepada jenderal soeharto
untuk tampil sebagai tokoh yang paling berpengaruh di indonesia. Status ini
membuka peluang bagi jenderal soeharto untuk menjadi presiden berikutnya
sebagai pengganti soekarno.
Perlunya
menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan intergrasi nasional telah
digunakan sebagi alat pembenaran bagi pemerintah untuk melakukan
tindakan-tindakan olpolitik, termasuk yang bertentangan dengan demokrasi.
Contohnya adalah prinsip monoloyolitas pegawai negeri sipil (PNS). Semua
prinsip itu diperlukan untuk melindungi orde baru dari gangguan-gangguan yang mungkin
timbul dari musuh-musuh orde baru dengan mewajibkan semua PNS memilki golkar
dalam setiap pemilihannya.
Masa
republik indonesia III keberhasilan dalam penyelenggaran pemilu. Pemilu
diadakan secara teratur dan berkesinambungan sehingga selama periode tersebut
berhasil diadakan enam kali pemilu, masing-masing pada tahun
1971,1977,1982,1997,1992, dan 1997. Dari awal, orde baru memang menginginkan
adanya pemilu ini.[4]
E. Negara yang Berdasarkan Demokrasi
Pancasila
1.
Prinsip Dasar
Dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersifat kekeluargaan sebagaimana
diuraikan di atas, para pendiri negara selanjutnya mencitacitakan negara yang
berkedaulatan rakyat. Untuk itu, dirumuskanlah model demokrasi yangberdasarkan
Pancasila yangdiartikan sebagai sistem kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah
kebijaksanaan dalam permusyawaratanperwakilan. Dalam kaitan ini, pokok pikiran
ketiga yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 menyatakan negara yang
berkedaulatan rakyat berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratanperwakilan.
Dengan demikian, maka Sistem Demokrasi Pancasila tersebut mengandung dua prinsip
dasar sebagai berikut ini :
Pertama,
prinsip kerakyatan yang berarti bahwa pengaturan pemerintahan dan ekonomi
semuanya harus diputuskan bersama oleh seluruh rakyat. Hal ini berarti bahwa
segenap keputusan yang berkaitan dengan kebijakan ketatanegaraan harus
diputuskan oleh seluruh rakyat bukan keputusan oleh orang perorang atau
golongan. Prinsip berikutnya, yaitu permusyawaratan dalam perwakilan dan
mufakat. Dalam kaitan ini, Bung Karno dalam pidato di depan Sidang BPUPKI,
tanggal 1 Juni 1945 menyampaikan pertanyaan retoris, “Kemudian apakah dasar
yang ke-3?” Lantas beliau jawab sendiri: “Dasar itu ialah dasar mufakat, dasar
permusyawaratan. Negara Indonesia bukan satu Negara untuk satu orang, bukan
satu Negara untuk satu golongan walaupun golongan kaya. Tetapi kita mendirikan
Negara ‘semua untuk semua’, ‘satu untuk semua, semua untuk satu’.” Kami yakin,
bahwa syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan
perwakilan. Selanjutnya, dalam pidato tersebut beliau juga mengatakan “Kalau
kita menilai demokrasi, hendaknya bukan demokrasi barat, tetapi permusyawaratan
yang memberi hidup, yakni Politiek
Economische Democratie yang mampu mendatangkan kesejahteraan sosial.”
Bahkan, Bung Karno (1958) mengungkapkan, bahwa demokrasi kita janganlah
mengikuti model “mayorokrasi” dan “minorokrasi”. Dalam arti kata,
demokrasi di Indonesia tujuannya mencapai “win-win solution”, agar merawat
persatuan dan kesatuan bangsa. Bukannya, win-lost solutionyang berpotensi the winner takes all yang menimbulkan
perpecahan. Dalam kaitan ini selanjutnya Bung Hatta menyatakan: “Pendeknya cara
mengatur pemerintahan negeri, cara menyusun perekonomian rakyat, semuanya harus
diputuskan oleh rakyat dengan mufakat. Pendek kata rakyat itu daulat alias raja
atas dirinya. Tidak lagi orang seorang atau sekumpulan orang pandai atau
segolongan kecil saja yang memutuskan nasib rakyat dan bangsa, melainkan rakyat
sendiri. Inilah arti kedaulatan rakyat! Inilah suatu dasar demokrasi atau
kerakyatanyang seluas-luasnya. Inilah arti kedaulatan rakyat.Tidak saja dalam
hal politik melainkan juga dalam sisi sosial dan ekonomi ada demokrasi.” Dari
dua gagasan besar dari dua orang pendiri negara ini mempertegas bahwa demokrasi
Indonesia yang berdasarkan Pancasila sebagaimana Hatta, Ke Arah Indonesia
Merdeka, 1932.
dikemukakan
Yudi Latif (2011) mengandung prinsip dasar kerakyatan, permusyawaratan lewat
perwakilan dan mufakat (hikmat kebijaksanaan). Kerakyatan, permusyawaratan dan
mufakat itulah yang menjadi prinsip dasar demokrasi Pancasila. Ketiga prinsip
dasar demokrasi tadi harus dijalankan bersama-sama. Hal ini berarti bahwa
demokrasi Pancasila, tidak cukup apabila hanya mengedepankan unsur kerakyatan
saja tanpa memperhatikan unsur permusyawaratan dalam perwakilan dan mufakat,
demikian pula sebaliknya. Karena, cita permusyawaratan dalam perwakilan dan
mufakat akan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara dengan semangat
kekeluargaan. Sedangkan, cita mufakat merefleksikan orientasi etis dari bangsa
Indonesia. Dengan demikian, dalam demokrasi Pancasila semua pengambilan
keputusan kenegaraan harus dilakukan bersama oleh seluruh rakyat melalui
permusyawaratan untuk mencapai mufakat. Tiga prinsip tersebut diatas dalam
suatu kesatuan yang utuh dan menyeluruh merupakan Doktrin Kerakyatan Indonesia
yang menjadi Doktrin menurut Kamus Besar Ilmu Pengetahuan adalah ajaran tentang
prinsip-prinsip/asas-asas dalam bidang politik, agama, dll. Doktrin Kerakyatan
Indonesia merupakan doktrin yang berprinsip dasar kerakyatan, permusyawaratan
okrasi_Pancasila-Subiakto esensi dari sistem demokrasi politik yang sesuai
dengan hakikat manusia Indonesia dan paham kekeluargaan. Kedua, demokrasi
Pancasila memiliki dimensi demokrasi politik, demokrasi ekonomi dan demokrasi
sosial lainnya. Sistem demokrasi politik dan ekonomi telah dirumuskan oleh para
pendiri negara sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Menurut Bung Karno dan Bung
Hatta, penyelenggaraan demokrasi politik haruslah dilaksanakan terutama
bersama-sama dengan demokrasi ekonomi, sehingga kesejahteraan sosial
benar-benar terwujud. Jadi, sistem demokrasi Pancasila bagaikan dua wajah dalam
satu keping mata uang.
Pandangan Bung Hatta dan Bung Karno tersebut
sangat tepat, karena demokrasi mengandung dua unsur pokok yaitu kebebasan dan
kesetaraan. Karena itu demokrasi Pancasila tak mungkin terwujud tanpa adanya
kebebasan sekaligus kesetaraan. Hal ini menunjukkan, bahwa terwujudnya
kebebasan dan kesetaraan secara bersamaan menjadi prasyarat pokok terwujudnya
demokrasi Pancasila. Dalam kaitan ini, Yudi Latif melihat dengan jeli bahwa
dalam lewat perwakilan dan mufakat (hikmat kebijaksanaan) secara utuh dan
menyeluruh didasarkan Pancasila.
Pembukaan
UUD 1945, pencantuman sila keempat dan sila kelima dihubungkan dengan kata
sambung “serta”. Hal ini dapat diartikan bahwa sila keempat (kerakyatan) dan
sila kelima (keadilan/kesetaraan) merupakan suatu rangkaian yang tidak dapat
dipisahkan
2.
Demokrasi Politik
Dengan
landasan prinsip dasar demokrasi Pancasila seperti diuraikan di atas, maka
demokrasi politik Indonesia mengandung dua prinsip dasar sebagai berikut ini.
Pertama, kedaulatan sepenuhnya ada pada rakyat dan dilakukan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia.Keanggotaan MPR terdiri dari anggota DPR, utusan daerah dan utusan
golongan. MPR adalah locus of sovereignty yang memegang kekuasaan dan
penyelenggara negara tertinggi. Sebagai pemegang kekuasaan dan penyelenggara
negara tertinggi, MPR dengan sendirinya menjadi “pemegang” kekuasaan eksekutif
dan legislatif. Sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan bagian dari
MPR yang berfungsi Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas,
dan Aktualitas Pancasila, Jakarta: Gramedia, 2011.
sebagai
lembaga legislatif dan Presiden yang dipilih dan diangkat oleh MPR adalah
mandataris MPR yang melaksanakan fungsi eksekutif. Tugas pokok MPR adalah
menetapkan UndangUndang Dasar dan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) serta
ketetapan lainnya yang dipandang perlu. Di samping itu, tugas pokok lainnya
adalah mengangkat Presiden dan Wakil Presiden. Oleh karena itu, Presiden
bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Presiden, tidak “neben”akan
tetapi “untergeordnet”kepada Majelis. Presiden tidak mempunyai politik
sendiri,tetapi mesti melaksanakan haluan negara yang ditetapkan dan
diperintahkan oleh MPR. Dari apa yang kami kemukakan di atas dapat disimpulkan
bahwa sistem yang dianut oleh demokrasi Pancasila adalah uni-kameral bukan
bikameral atau tri-kameral. Suatu sistem demokrasi yang tidak menganut ajaran
Trias Politika yang mendalilkan pemisahan kekuasaan: antara kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Pada sidang-sidang
BPUPKI, Prof. Soepomo, Mr. Maramis, Bung Karno, dan Bung Hatta mengajukan
pertimbanganpertimbangan filosofis dan hasil kajian empiris untuk mendukung
keyakinan mereka bahwa Trias Politika ala Montesqieue bukanlah sistem
pembagian
kekuasaan yang paling cocok untuk melaksanakan kedaulatan rakyat.
Selanjutnyapara penyusun UUD 1945 juga menyatakan bahwa Trias Politika sudah
kedaluwarsa, sebab itu kita menyusun suatu sistem ketatanegaraan sendiri.
Demokrasi Pancasila merupakan sistem demokrasi yang berdasarkan pendelegasian
kekuasaan (delegation of power) dari MPR sebagai pemegang kekuasaan negara
tertinggi kepada DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif dan Presiden sebagai
pemegang kekuasaan eksekutif.
Sistem
ini dipilih oleh pendiri negara karena dipandang lebih sesuai dengan prinsip
dasar demokrasi Pancasila sebagaimana diuraikan di atas. Kedua, penyelenggaraan
Pemilihan Umum yang dilaksanakan secara berkala dan teratur dengan peserta
partai-partai politik untuk memilih para wakil rakyat di pusat dan daerah,
yaitu sebagai anggota Dewan Perwakilan Prof. Dr. Sofian Effendi, MPIA, Sistem
Pemerintahan Negara Kekeluargaan, Pidato Dies Natalis XVIII Universitas Wangsa
Manggala, Yogyakarta : Universitas Wangsa Manggala, 2004. R.M. A.B. Kusuma,
Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” versus Sistem Presidensiel “Orde
Reformasi”, Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Pemilihan
Umum tersebut diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, dan adil.
Selanjutnya, DPR dan DPRD yang akan memilih pemimpin lembaga negara, baik di
pusat maupun di daerah, melalui musyawarah untuk mufakat. Jadi dalam prinsip
kedua ini, pemilihan pemimpin lembaga ne- gara di pusat dan di daerah)
diselenggarakan secara tidak langsung sehingga tercapai hasil pemilihan
pemimpin lembaga negara melalui musyawarah untuk mufakat. Konsepsi mufakat itu
sendiri, sesuai dengan pandangan tentang hakikat manusia Pancasila, sebagaimana
yang telah diuraikan terdahulu. Konsepsi mufakat bersumber dari persamaan jiwa
dan semangat dalam mengemban hasil karya bersama, baik keberhasilan maupun
kegagalannya. Dengan kata lain, konsepsi mufakat dapat diartikan sebagai hasil
daya konsensus, sehingga disebut juga sebagai hikmat kebijaksanaan38
Melalui
proses pemilihan seperti ini maka perwujudan kedaulatan dari seluruh rakyat
yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas
Pancasila, Jakarta: Gramedia, 2011. menjadi sebuah keniscayaan, dan bukan
sekadar kedaulatan orang-perorang atau golongan. Adapun suara terbanyak seperti
yang tercantum dalam Pasal 6 ayat (2) UUD 1945 kaitannya dengan mufakat
(sebagaimana telah diuraian diatas), merupakan model pemungutan suara dari
pelaksanaan konsepsi mufakat. Suara terbanyak dalam logika matematika berarti
kemenangan mutlak, yaitu bahwa kemenangan suatu pemilihan minimal harus
mendapatkan suara 50 persen plus satu sampai dengan hasil suara 100 persen.
Dalam konteks politik, menurut Prof. Dr. Jimmly Asshiddiqie, model tersebut
disebut sebagai dukungan mayoritas mutlak
Sistem
demokrasi seperti inilah yang sejatinya mencerminkan demokrasi khas Indonesia
yang dimaksudkan Bung Karno, Bung Hatta, dan Penjelasan Pembukaan UUD 1945.
Dengan pengertian tersebut maka mufakat mengandung makna adanya ruang
kesepakatan, walaupun hasilnya bisa “lonjong” atau pun “bulat”. Suara terbanyak
50 persen plus satu adalah mufakat lonjong dan 100 persen adalah mufakat bulat.
Dengan model mekanisme suara terbanyak tersebut para pendiri negara perumus UUD
1945 menciptakan “ruang publik” untuk mencapai Jimmly Asshiddiqie, Konstitusi
dan KonstitusionalismeIndonesia, Jakarta : PSHTN FHUI, 2004.mufakat tanpa
terjadinya kebuntuan politik. Selain untuk mendapatkan pemimpin negara yang
didukung oleh mayoritas rakyat yang penting artinya bagi efektivitas kepemimpinannya.
Dengan demikian, model mekanisme suara terbanyak sesuai dengan konsepsi
mufakat. Dari pengertian dan prinsip dasar tersebut, kita dapat melihat
perbedaan-perbedaan pokok antara demokrasi Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dengan sistem demokrasi lainnya. Karena perbedaan sistem tadi, para pendiri
negara menyebutnya sebagai “sistem sendiri”. Menurut Prof. Sofian Effendi, para
ahli politik Indonesia menggunakan terminologi yang berbeda untuk menamakan
sistem khas Indonesia tersebut. Prof. Ismail Suny menyebutnya Sistem Quasi
Presidensial. Prof. Padmo Wahyono menamakannya Sistem Mandataris dan Prof.
Azhary menamakannya Sistem MPR. Dalam klasifikasi Verney, sistem yang
mengandung ciri sistem Presidensial dan parlementer disebut sistem semi-Presidensial.40
Menurut Arend Lijphart, sistem tersebut dinamakan sebagai
Prof.
Dr. Sofian Effendi, MPIA, “Sistem Pemerintahan Negara Kekeluargaan”, Pidato
Dies Natalis XVIII Universitas Wangsa Manggala, Yogyakarta: Universitas Wangsa
Manggala, 2004. sistem demokrasi konsensus (concensus democracy). Sistem
demokrasi yang digagas oleh para pendiri negara ini oleh Bung Karno disebut
sebagai sistem “Demokrasi Terpimpin”. Artinya, sistem demokrasi yang dituntun
oleh Pancasila sebagai “light star”.Dengan demikian, segala sesuatu yang akan
menjadi keputusan pemegang kedaulatan rakyat (MPR) tidak boleh menyimpang dari
Pancasila sebagai “light star”-nya. Dalam hubungan ini Pak Harto dalam pidato
kenegaraannya pada tahun 1979 menggunakan terminologi “Demokrasi Pancasila”
sesuai dengan Ketetapan MPRS No. XXXVII/1968, artinya sistem tatanan kehidupan
negara dan masyarakat berdasarkan kedaulatan rakyat yang dijiwai oleh
nilai-nilai luhur Pancasila. Selanjutnya pokok-pokok pikiran sistem demokrasi
Pancasila menurut Undang-Undang Dasar 1945, tercantum dalam penjelasan
Pembukaan sebagai berikut ini. Pertama, Indonesia ialah negara yang berdasar
atas hukum(Rechtsstaat). Negara Indonesia berdasar atas hukum (Rechtsstaat),
tidak berdasar atas kekuasaan belaka(Machsstaat). Kedua, pemerintah berdasar
atas sistem konstitusi(hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang
tidak berbatas).
Ketiga,
kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR(Die gesamte Staatgewalt liegt
allein bei der Majelis). Kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang
bernama Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagai penjelmaan seluruh rakyat
Indonesia (Vertretungs organ des Willens des Staatsvilkes).
Majelis
ini menetapkan UUD dan menetapkan GarisGaris Besar Haluan Negara (GBHN).
Majelis inilah yang memilih dan mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil
Kepala Negara (Wakil Presiden). MPR inilah yang memegang kekuasaan yang
tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garisgaris
besar yang telah ditetapkan oleh MPR. Presiden yang diangkat oleh MPR,
bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Ia ialah “mandataris” dari MPR. Ia
berwajib menjalankan putusan-putusan MPR. Presiden tidak “neben” tetapi
“untergeordnet” kepada MPR.Pemilihan dan pengangkatan Presiden oleh MPR dan tidak
dilakukan secara langsung oleh rakyat melaluipemilihan umum adalah sesuai
dengan Demokrasi Pancasila.
Pemilihan
lansung memang melibatkan seluruh rakyat yang sesuai dengan salah satu ciri
pokok demokrasi Pancasila. Namun, hal ini tidak dilaksanakan melalui proses
musyawarah untuk mufakat yang menjadi ciri pokok lainnya dari demokrasi
Pancasila. Kendatipun, misalnya, pemilihan langsung Presiden, calon Presiden
yang memperoleh dukungan mayoritas mutlak, (lebih dari 50 persen ditambah 1)
yang berarti telah memenuhi persyaratan mufakat, hal tersebut tetap belum
sesuai dengan demokrasi Pancasila. Sebab, pemilihan tersebut tidak melalui
proses musyawarah. Selain dari pada itu, Presiden yang dipilih secara langsung
oleh rakyat, tidak dapat menjadi mandataris MPR, sehingga Presiden tidak
“untergeordnetsesuai dengan demokrasi Pancasila. Karena itulah, Presiden harus
dipilih oleh MPR. Keempat,Presiden ialah penyelenggara peme rintah negara yang
tertinggi di bawah MPR. Di bawah MPR, Presiden ialah penyelenggara pemerintah
tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab
ada di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the
President). Kelima,Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR). Di samping Presiden adalah DPR.
Presiden
harus mendapat persetujuan DPR untuk membuat undang-undang (Gezetsgebung) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja
negara (Staatsbegroting). Oleh karena
itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan DPR, dan Presiden tidak
bertanggung jawab kepada DPR. Keenam, menteri adalah pembantu Presiden. Menteri
negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. Presiden
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara. Menteri-menteri ini tidak
bertanggung jawab kepada DPR. Kedudukannya tidak bergantung kepada Dewan,
tetapi bergantung kepada Presiden. Mereka adalah pembantu Presiden. Ketujuh,
kekuasaan kepala negara tidak tak berbatas. Meskipun kepala negara tidak
bertanggung jawab kepada Presiden, ia bukan“diktator”, artinya kekuasaan tidak
tak berbatas. Diatas telah ditegaskan bahwa ia bertanggung jawabkepada MPR.
Kecuali itu ia harus memperhatikansungguh-sungguh suara DPR. Kedelapan,
kedudukan DPR adalah kuat. Dewan ini tidak bisa dibubarkan oleh Presiden
(berlainan dengan sistem parlementer). Selain itu,anggota DPR adalah juga
anggota MPR. Karenaitu, DPR dapat senantiasa mengawasi tindakantindakan
Presiden dan jika DPR menganggapbahwa Presiden melanggar UUD, Haluan Negaraatau
Ketetapan MPR lainnya, Majelis dapatdiminta untuk mengadakan Sidang Istimewa
gunameminta pertanggungjawaban Presiden.
Kesembilan,
menteri-menteri bukan pegawai tinggi biasa.Meskipun kedudukan menteri negara
bergantung pada Presiden, mereka bukan pegawai tinggi biasa. Sebab, menteri menterilah
yang terutama menjalankan kekuasaan pemerintah (pouvoir executive)dalam praktik. Dari uraian ciri-ciri pokok
sebagaimana diuraikan di atas timbul pertanyaan apakah sistem pemerintahan
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 mengandung unsur “checks and balances” yang
menurut Sartori merupakan unsur yang sangat penting dalam suatu sistem
demokrasi yang baik. Masalah “check and balances”dalam UUD 1945 sampai saat ini
sering kali masih menjadi kontroversi dalam masyarakat kita. Hal ini disebabkan
adanya pandangan bahwa UUD 1945 tidak mengandung ketentuan tentang ‘Check and
balances”. Sebab, dalam UUD kekuasaan Presiden dianggap terlalu kuat
(concentration of power and responsibilities upon the President). Namun AB
Kusuma menyatakan bahwa “Check and balances” dalam UUD 1945 jelas ada.
Sartori
dalam RM. A.B. Kusuma, Sistem Pemerintahan “Pendiri Negara” Versus Sistem
Presidensiel “Orde Reformasi”, Depok : BPFH UI, 2011
itu
dapat dibaca di Risalah BPUPK dan PPKI yang kemudian dirumuskan dalam ciri-ciri
pokok sistem ketatanegaraan sebagaimana diuraikan diatas. Agar lebih jelas
lagi, masalah tersebut kami paparkan sebagai berikut ini.
(1)
Kekuasaan Presiden tidak tak terbatas.
Meskipun
Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, namun ia bukan diktator. Presiden
bertanggung jawab kepada MPR dan harus memperhatikan sungguh-sungguh suara DPR.
Selain dari pada itu, sebagian besar anggaran MPR adalah anggota DPR.
(2)
Kedudukan DPR adalah kuat.
Kedudukan
DPR adalah kuat, karena memiliki hakbudget, hak angket, dan hak interpelasi, di
samping tidak bisa dibubarkan oleh Presiden.
(3)
DPR dapat senantiasa mengawasi tindakantindakan Presiden dan jika Dewan
menganggap Presiden melanggar GBHN atau ketetapan-ketetapan MPR, maka DPR dapat
meminta Majelis untuk mengadakan Sidang Istimewa.
(4)
Presiden harus bekerja sama dengan DPR dalam menetapkan Undang-undang dan APBN.
Demikianlah
pokok-pokok pikiran dari demokrasi politik berdasarkan Pancasila yang
selanjutnya telah dijadikan landasan guna menyusun kaidah-kaidah pokok
pelaksanaan sistem demokrasi politik yang tertuang dalam batang tubuh UUD 1945
khususnya Bab I, Bab II, Bab III dan Bab X; Pasal 1, Pasal 2, Pasal 6, dan
Pasal 28.
3.
Demokrasi Ekonomi
Mohammad
Hatta (Bung Hatta) mengakui bahwa judul, pasal, dan ayat dalam UUD 1945 tentang
ekonomi bersumber dari buah pikirannya sendiri yang beliau usulkan dalam
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Bung Hatta menyatakan bahwa “… Buah
pikiran yang tertanam di pasal 33 UUD 45 ini berasal dari saya sendiri yang
saya majukan dahulu waktu Panitia Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan
kita sedang menyusun rancangan Undang – Undang Dasar Republik Indonesia. Sebab
itu terimalah pernyataan saya bahwa memang koperasilah yang dimaksud dengan
usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan itu” (Bung Hatta, Jakarta 1975).
Kalau kita simak kembali situasi perekonomian di masa penjajahan dahulu, maka
akan jelas bagi kita bahwa perekonomian saat itu terdiri atas dua sistem, yaitu
sistem perekonomian rakyat dan sistem perekonomian kapitalisme-kolonial. Namun,
sistem kapitalisme-koloniallah yang menguasai perekonomian bangsa kita ketika
itu, dengan pelaku utamanya perusahaan swasta asing dan timur asing. Kondisi
perekonomian seperti itulah yang diwariskan oleh kaum penjajah kepada bangsa
Indonesia.
Dalam
kaitan ini, Bung Hatta berharap agar dalam alam kemerdekaan, sistem perekonomia
yang demikian tadi, dapat ditransformasikan menjadi sistem perekonomian
Indonesia yang didasarkan atas nilai-nilai luhur budaya bangsa. Untuk memahami
pemikiran dan langkahlangkah Bung Hatta, sebagai salah seorang tokoh pendiri
negara, kita harus menyadari bahw beliau adalah negarawan yang turut membidani
lahirnya Indonesia Merdeka dan beliau berjuang dengan mengerahkan segala
kemampuan untuk kepentingan kemerdekaan, kesejahteraan, serta pembangunan
bangsanya. Dengan memiliki persepsi tentang Bung Hatta yang demikian ini, kita
akan dapat lebih mudah memahami konteks pemikiran dan langkah-langkahnya
dibidang ekonomi. Kita akan dapat melihat bahwa berbagai gagasan dan langkah
Bung Hatta dalam bidang ekonomi bukanlah suatu aktivitas yang berdiri sendiri,
tetapi erat kaitannya dengan cita-cita beliau tentang Indonesia Merdeka dan
pembangunan bangsa secara menyeluruh. Dengan kata lain, keprihatinan dan
gagasan-gagasan Bung Hatta atas kondisi ekonomi masyaraka Indonesia saat itu,
haruslah selalu kita kaitka secara menyeluruh dengan masalah yang dihadapi
bangsa Indonesia, yaitu belum terwujudnya kesejahteraan sosial. Bung Hatta
melihat dengan sangat jelas segi positif dan negatif sistem perekonomian
kapitalisme. Beliau juga sangat mendalam baik-buruknya sistem perekonomian
dengan perencanaan terpusat oleh pemerintah yang berkuasa (sistem perkonomian
sosialisme). Bung Hatta berpandangan bahwa kedua sistem perekonomian tadi
tidaklah cocok bagi bangsa Indonesia guna mewujudkan cita-cita memajukan
kesejahteraan umum. Cita-cita tersebut berangkat dari pandangan Pancasila
tentang manusia yang dilandasi paham kekeluargaan. Berdasarkan pandangan
tentang hakikat manusia Indonesia seperti tersebut di atas serta untuk
mewujudkan cita-cita kemerdekaan, maka interainterelasi bangsa Indonesia di
bidang ekonomi disusun dalam suatu sistem perekonomian sebagai usaha bersama
berdasar atas asas kekeluargaan, yang oleh Bung Hatta disebut sebagai sistem
ekonomi koperasi. Bung Hatta menghendaki sistem ekonomi koperasi, karena
menurut beliau Koperasi Indonesia yang merupakan jiwa dan semangat kekeluargaan
(gotong royong) harus menjadi acuan aturan main—baik secara internal maupun
dalam interaksi dan interelasi—di antara semua pelaku ekonomi nasional, yaitu
koperasi, BUMN, dan swasta. Dalam kaitan ini, Bung Hatta menyebut badan usaha
milik negara dan swasta harus berjiwa koperasi. Untuk selanjutnya, sesuai
dengan Ketetapan MPR RI No. II Tahun 1998 tentang GBHN, istilah Sistem Ekonomi
Indonesia—menurut kami—lebih tepat menggunakan istilah Sistem Ekonomi Pancasila
(SEP).
Penyebutan
istilah “Koperasi Indonesia” di dalam buku ini bukanlah koperasi dalam
pengertian sistem ekonomi mikro sebagaimana dalam konsep ekonomi liberal, namun
lebih dipahami sebagai konsep ekonomi makro berdasarkan dan berorientasi pada
konstitusi nasional, khususnya Pasal 33 UUD 1945. Asas kekeluargaan, sebagai
paham yang lahir dari sistem manusia Pancasila yaitu makhluk individu sekaligus
makhluk sosial, merupakan prinsip dasar manusia Indonesia dalam melakukan
kegiatan ekonomi berupa kesadaran untuk secara kolektif bekerja dan bertanggung
jawab bersama untuk mencapai suatu tujuan dengan tidak mendahulukan kepentingan
diri sendiri melainkan mengutamakan kepentingan bersama. Dalam kaitan ini untuk
lebih mendinamisasikan asas kekeluargaan, Bung Karno—sebagai penggagas
Pancasila—menggunakan istilah gotong royong, yang merupakan core valuedari
Pancasila. Dalam konsep pembangunan perekonomian nasional yang berdasarkan atas
asas kekeluargaan tersebut maka tujuan utamanya haruslah terwujudnya
kesejahteraaan sosial, yaitu kesejahteraan bersama seluruh rakyat bukan
kesejahteraan orang perorang. Tujuan ini jelas tercantum dalam Pembukaan dan
Penjelasan Pasal 33 UUD 1945. Untuk itu maka seluruh rakyat harus aktif
berpartisipasi secara total dalam proses produksi dan dalam menikmati
hasil-hasilnya. Inilah wujud dari demokrasi ekonomi (ekonomi kerakyatan), yang
merupakan dasar SEP. Selanjutnya agar proses demokrasi ekonomi tersebut dapat
terselenggara dengan baik maka pengaturan ekonomi tidak bisa diserahkan pada
mekanisme pasar semata (seperti dalam sistem ekonomi kapitalisme); dan juga
tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada kekuasaan pemerintah (seperti dalam
sistem ekonomi sosialisme). Kedua pendekatan pengaturan ekonomi tersebut di
atas terbukti tidak mampu menciptakan kebebasan dan sekaligus kesetaraan. Oleh
karena itulah, Bung Hatta dalam pidatonya yang sangat bersejarah pada tahun
1932 telah menawarkan suatu gagasan fundamental tentang pengaturan ekonomi yang
genius, visioner dan khas Indonesia. Dalam pidatonya yang berjudul “Ke arah
Indonesia Merdeka”, beliau menegaskan: ”Pendeknya cara mengatur pemerintahan
negeri dan cara menyusun perekonomian semuanya harus diputuskan rakyat dengan
cara ‘mufakat’…. Inilah arti kedaulatan rakyat.”(Hatta, “Ke Arah Indonesia
Merdeka”, 1932). Selanjutnya dalam salah satu pidatonya, Bung Hatta kembali
dengan jelas dan tegas menyatakan bahwa: “Kita harus melakukan apa yang disebut
sebagai ‘ekonomi terpimpin’. Pemerintah harus banyak campur tangan dalam
pelaksanaannya, dengan memberikan petunjuk dan menetapkan peraturan, tetapi
bebas dari perbuatan birokrasi” (Hatta, 1957).
Dari
pandangan yang sangat mendasar dari Bung Hatta tersebut ternyata belum pernah
ada pemikir-pemikir ekonomi Indonesia yang selanjutnya merumuskannya sebagai
prinsip dasar pertama SEP. Sedangkan menurut pandangan kami prinsip dasar
pertama SEP adalah gagasan Bung Hatta tersebut yaitu adanya pengaturan negara
di bidang ekonomi yang harus diputuskan oleh seluruh rakyat secara mufakat.
Inilah arti sesungguhnya dari kedaulatan rakyat dibidang ekonomi, kata Bung
Hatta. Sebagai representasi seluruh rakyat sebagaimana yang diuraikan di
atas—sesuai ayat 2 Pasal 1 UUD 1945 versi 18 Agustus 1945—adalah MPR. Oleh
karena itu, menurut Prof. Hazairin, MPR-lah yang berkewajiban menyusun struktur
ekonomi itu atau pun menetapkan garis-garis besar sebagai petunjuk mengenai
penyusunan itu dan selanjutnya mendelegasikan tugas pengaturan dan
pelaksanaannya kepada Presiden dan DPR. Prinsip dasar inilah yang membedakan
SEP dengan sistem ekonomi kapitalisme dan sistem ekonomi sosialisme. Para
pendiri negara tampaknya telah menyadari benar bahwa apabila menggunakan
mekanisme pasar bebas untuk mengatur kegiatan ekonomi maka terjadi kegagalan
pasar yang menyebabkan terjadinya kesenjangan dan ketidakadilan dalam
masyarakat.
No comments:
Post a Comment